Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
BeritaKepulauan Tanimbar

Bupati-Bupati Kecil Halangi PMKRI dan PK: Kantor Pemerintahan Dikuasai Preman

×

Bupati-Bupati Kecil Halangi PMKRI dan PK: Kantor Pemerintahan Dikuasai Preman

Sebarkan artikel ini

Saumlaki, Kapatanews.com – Suasana mencekam menyelimuti halaman depan Kantor Bupati Kepulauan Tanimbar, Selasa siang (17/06), ketika puluhan kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Pemuda Katolik melakukan aksi demonstrasi damai dan berencana menyampaikan aspirasi langsung kepada Bupati Ricky Jauwerissa.

Alih-alih disambut sesuai amanat konstitusi, massa justru dihadang secara brutal oleh sekelompok orang misterius berpakaian sipil, yang dikenal publik dengan julukan “Bupati-Bupati Kecil” istilah sinis untuk menggambarkan figur-figur non-ASN yang seolah memiliki otoritas resmi di lingkaran kekuasaan Pemda Kepulauan Tanimbar.

Para peserta aksi yang melakukan long march dan orasi ke halaman Kantor Bupati menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap 100 hari kerja Bupati, terutama terkait transparansi anggaran, sikap anti-kritik, dan kebijakan pembangunan yang dinilai semakin elitis. Namun, saat hendak masuk ke halaman kantor untuk menyampaikan tuntutan secara langsung, mereka dihadang oleh bupati-bupati kecil, berpakaian sipil, tidak berseragam dan tanpa tanda pengenal, yang membentuk pagar manusia menutup akses ke ruang pertemuan Bupati.

“Ini bukan aparat, tapi mereka bertindak lebih arogan dari aparat. Mereka tidak membawa identitas, tapi menghadang rakyat yang hendak bertemu pemimpinnya,” tegas Alex Belay.

Menurut pantauan jurnalis, mereka bukan Satpol PP, TNI, maupun Polri. Namun, dugaan kuat menyebutkan bahwa mereka adalah bagian dari “lingkaran dalam kekuasaan lokal” orang-orang dekat Bupati yang bertindak sebagai bodyguard.

Lebih mengejutkan, hasil penelusuran menyebut bahwa barisan penghadang ini merupakan bagian dari kelompok informal yang selama ini dikenal publik sebagai kelompok “Jalan Pagi dan Jalan Sore”. Mereka adalah figur-figur non-struktural yang kerap mendampingi Bupati Ricky Jauwerissa dan Wakil Bupati dr. Julyana Ch. Ratuanak dalam aktivitas pribadi, namun diam-diam menjelma menjadi semacam “pasukan sipil bayangan” dalam urusan kekuasaan.

“Yang kami tahu mereka bukan ASN, tapi selalu ikut jalan pagi sama Bupati. Lama-lama mereka seperti pengawal pribadi, padahal tidak punya status resmi,” ujar Anders Luturyali.

Adu Mulut dan Pemaksaan

Kejadian berlangsung dalam suasana panas. Sekitar pukul 13.15 WIT, massa aksi mulai menyampaikan orasi-orasi di halaman depan kantor. Namun pada pukul 13.25 WIT, akses ke dalam gedung mulai diblokir paksa oleh barisan “Bupati-Bupati Kecil”. Ketegangan meningkat, bahkan nyaris terjadi baku hantam antara peserta aksi dan para penghadang. Beberapa peserta aksi ditahan secara paksa dan didorong mundur.

“Kalau ini terus dibiarkan, besok rakyat mau masuk kantor pemerintah saja harus sewa pengacara. Ini negara hukum atau negara bodyguard?” sindir Anders dari Pemuda Katolik yang turut mengalami penghadangan.

Demokrasi dalam Bahaya

Insiden ini langsung menuai kecaman dari berbagai kalangan. Alex Belay menyebut aksi pemblokiran oleh kelompok sipil tak dikenal sebagai bentuk fasisme gaya baru di tubuh pemerintahan daerah.

“Ketika pemimpin takut mendengar suara rakyatnya, lalu membentuk pasukan sipil bayangan untuk menghalangi aspirasi publik, itu adalah awal dari runtuhnya demokrasi lokal. Ini bahaya,” tegas Belay.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Bupati, Sekretaris Daerah, maupun Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan. Pihak Polres Kepulauan Tanimbar saat dikonfirmasi hanya mengatakan bahwa izin aksi telah diberikan, namun mengaku tidak mengetahui keberadaan kelompok sipil yang bertindak seperti aparat tersebut.

Bermula dari Ketakutan, Berakhir di Ketertutupan

Para pengunjuk rasa menyimpulkan bahwa insiden ini mencerminkan arah kekuasaan yang semakin otoriter dan eksklusif. Kantor Bupati yang seharusnya menjadi ruang rakyat, kini berubah menjadi benteng kekuasaan yang dijaga oleh premanisme politik.

“Kami datang membawa suara rakyat, bukan senjata. Tapi yang menyambut kami justru intimidasi dan kekerasan simbolik. Apakah demokrasi sudah mati di Tanimbar?” tanya Alex.

PMKRI dan Pemuda Katolik menyatakan akan menempuh jalur hukum dan mengadukan insiden ini ke Komnas HAM, Ombudsman RI, hingga Komisi III DPR RI.

Peristiwa ini mencoreng catatan demokrasi lokal di Kepulauan Tanimbar. Ketika rakyat dipaksa menyingkir oleh orang-orang tanpa kewenangan resmi, maka pertanyaan besar patut diajukan: untuk siapa kantor pemerintahan itu dibangun? Untuk rakyat atau untuk para penjaga kekuasaan? (KN-07)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad