Saumlaki, Kapatanews.com – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan seluruh anggota DPRD di Indonesia untuk tidak lagi bermain proyek pokok-pokok pikiran (Pokir) di luar daerah pemilihannya.
Ia menegaskan, Pokir seharusnya bersumber dari aspirasi masyarakat di dapil masing-masing, bukan ditunggangi kepentingan kelompok atau digunakan sebagai alat transaksi kekuasaan.
“Silakan usulan Pokir dipertimbangkan dalam APBD, tapi harus murni aspirasi dapil. Bukan aspirasi luar dapil,” tegas Tito dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) RPJMD NTB 2025–2029 di Mataram, Rabu (4/6).
Menurut Tito, praktik penyimpangan Pokir ini kerap terjadi secara masif di berbagai DPRD, dengan modus penggelembungan anggaran melalui intervensi anggota legislatif.
Ia menyebut, celah tersebut membuka ruang bagi kolusi antara eksekutif dan legislatif dalam mengatur besaran proyek dan menentukan rekanan pelaksana.
“Jangan sampai DPRD menentukan rekanan. Itu bukan kewenangan legislatif. Eksekutif yang harus mengeksekusi program,” katanya. Ia menambahkan, penyalahgunaan Pokir menjadi salah satu titik rawan korupsi yang sering kali terjadi menjelang Pilkada atau Pemilu, apalagi bila dibungkus dalam bentuk hibah.
Mendagri juga menyinggung keterlibatan sejumlah anggota DPRD dalam kasus Pokir yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk di Provinsi Jawa Timur dan Jambi. Ia menilai, perlu ketegasan dari kepala daerah dalam memilah usulan Pokir agar tidak menabrak aturan, termasuk potensi pemaksaan anggaran di luar mekanisme.
Tanimbar Diingatkan, Legislator Tak Boleh Kelola Proyek
Peringatan Tito ini juga menjadi relevan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang selama ini diduga aktif mengatur proyek Pokir hingga ke tahap pelaksanaan di lapangan.
Sejumlah sumber internal menyebut, tak sedikit anggota DPRD di kabupaten tersebut turut menentukan siapa kontraktor pelaksana dan bahkan meminta jatah dari nilai proyek.
“Sebenarnya itu sudah jadi rahasia umum. Bahkan ada yang terang-terangan mengatur distribusi proyek Pokir dan minta fee ke rekanan,” ujar Jems Masela Salah satu tokoh masyarakat Tanimbar
Padahal, secara aturan, Pokir adalah hasil serapan aspirasi masyarakat oleh anggota dewan, lalu diusulkan ke pemerintah daerah untuk diformulasikan dalam rencana kerja perangkat daerah (RKPD). Setelah masuk dalam APBD, seluruh tahapan pelaksanaan harus menjadi kewenangan eksekutif.
Sayangnya, dalam praktik di lapangan, batas antara fungsi pengusulan dan pelaksanaan kerap dilanggar. Di Tanimbar, dugaan keterlibatan anggota dewan dalam pengelolaan proyek telah menimbulkan keresahan di kalangan kontraktor lokal dan masyarakat, karena Pokir lebih sering menjadi alat dagang proyek ketimbang solusi atas kebutuhan publik.
Perlu Reformasi Mekanisme Pengawasan
Jems Masela menilai situasi ini tak bisa dibiarkan berlarut. Menurutnya, perlu langkah konkret dari pemerintah daerah dan lembaga pengawas untuk memastikan praktik Pokir tidak menjadi celah penyelewengan kekuasaan.
“Kalau praktik Pokir tetap dijalankan seperti sekarang, kita hanya memelihara sistem barter proyek dan kepentingan. Harus ada audit menyeluruh dan sanksi tegas bagi yang menyalahgunakan,” ujarnya.
Ia juga mendorong masyarakat sipil dan media lokal agar lebih aktif mengawasi proses pembahasan APBD, terutama pada tahap penyusunan RKPD, di mana Pokir biasanya mulai dititipkan secara informal.
Tito Tegas: Pokir Bukan Celah Transaksi Politik
Mendagri Tito menutup pernyataannya, menyampaikan bahwa program Pokir harus dikembalikan pada marwahnya sebagai saluran aspirasi rakyat. Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses penyusunan anggaran daerah.
“Sudah cukup banyak yang ditangkap KPK karena Pokir. Jangan lagi terjadi. Jangan main-main. Ini soal integritas dan tanggung jawab moral kepada rakyat,” pungkasnya. (KN-07)