Saumlaki, Kapatanews.com – Suasana di Desa Alusi Krawain menjadi tegang setelah seorang warga bernama Petrus Melsasail bersama kelompoknya membuka sasi hasil kelapa secara sepihak. Tindakan ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, yang sebelumnya telah bersepakat untuk memberlakukan sasi umum terhadap kebun kelapa demi menjaga nilai adat dan kelestarian hasil bumi.
Sasi, yang merupakan sistem larangan tradisional untuk sementara waktu terhadap pemanfaatan sumber daya alam, telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di Maluku, termasuk di Kepulauan Tanimbar. Dalam konteks Desa Alusi Krawain, sasi atas kebun kelapa diberlakukan melalui kesepakatan bersama sebagai langkah perlindungan hasil dan pemerataan manfaatnya.
Namun, pada akhir Maret lalu, masyarakat dikejutkan oleh aktivitas panen kelapa yang dilakukan secara terbuka oleh kelompok Petrus Melsasail di wilayah yang masih berada dalam status sasi. Aktivitas tersebut bahkan sampai pada tahap pemuatan hasil panen yang dilakukan tanpa melalui mekanisme adat maupun pemberitahuan kepada para penatua adat.
Sejumlah warga menyampaikan kekecewaan mereka atas tindakan tersebut. Mereka menilai langkah yang diambil oleh kelompok Petrus Melsasail merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dibangun bersama.
“Sasi ini disepakati bersama untuk kebaikan semua. Kalau ada yang buka sendiri tanpa bicara dulu, itu bukan hanya melanggar, tapi juga bisa memecah belah,” ujar seorang warga yang identitasnya tidak dapat disebutkan demi alasan keamanan.
Beberapa tokoh masyarakat juga menyuarakan kekhawatiran bahwa tindakan sepihak seperti ini dapat melemahkan kepercayaan terhadap mekanisme adat yang selama ini menjadi landasan pengelolaan sumber daya bersama.
“Kalau satu orang bisa buka sasi begitu saja, maka ke depan semua bisa seenaknya. Ini sangat berbahaya bagi tatanan sosial kita,” ungkapnya.
Kejadian ini telah memicu perdebatan hangat di tengah masyarakat. Banyak yang merasa dirugikan karena pembukaan sasi dilakukan hanya oleh sekelompok orang yang tidak merepresentasikan kepentingan kolektif.
“Kami menjaga sasi karena kami percaya itu melindungi masa depan. Tapi kalau ada yang jalan sendiri, maka itu bukan lagi untuk semua, tapi hanya untuk kepentingan pribadi,” katanya.
Lebih lanjut sumber menambahkan, Saat ini, proses dialog antar warga dan tokoh-tokoh adat sedang berlangsung dalam rangka mencari jalan keluar yang adil dan damai. Beberapa pihak dari lembaga adat telah memulai inisiatif mediasi dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat.
“Yang lebih menyakitkan lagi, Petrus Melsasail itu anggota BPD, seharusnya dia jadi contoh dalam menjaga nilai-nilai adat. Tapi malah dia yang melanggar. Ini bukan cuma soal kelapa, tapi soal harga diri dan kebersamaan. Kalau orang seperti dia saja tidak menghormati sasi, bagaimana masyarakat mau percaya dan taat?” ucapnya dengan nada kecewa.
Sementara itu, beberapa warga mendorong agar mekanisme sanksi adat diberlakukan kepada pihak yang membuka sasi tanpa izin. Mereka meyakini bahwa penegakan sanksi adat penting agar aturan bersama tetap dihormati.
“Kami ingin penyelesaian yang damai, tapi juga tegas. Harus ada pembelajaran supaya hal seperti ini tidak terulang,”jelasnya.
Peristiwa ini menjadi catatan penting bagi masyarakat adat dalam memperkuat kesepakatan kolektif dan menjaga kelestarian nilai-nilai lokal. Sasi bukan hanya simbol larangan, tetapi juga cerminan solidaritas dan rasa tanggung jawab bersama terhadap sumber daya alam yang menjadi penopang hidup masyarakat.
Masyarakat Desa Alusi Krawain diharapkan dapat menyelesaikan perbedaan ini melalui dialog yang terbuka, adil, dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada klarifikasi langsung dari Petrus Melsasail mengenai alasan pembukaan sasi tersebut. Beberapa upaya untuk mendapatkan pernyataan dari pihak bersangkutan belum membuahkan hasil. (KN-07)