Saumlaki, Kapatanews.com – Suara denting keadilan mulai menggema di bumi Duan Lolat. Di tengah sunyi yang pekat oleh ketakutan dan kompromi elit, rencana aksi “Pengadilan Rakyat” meledak sebagai jeritan moral dari rakyat yang muak pada kepalsuan sistem.
Namun, alih-alih disambut sebagai peringatan profetik, aksi ini justru dituduh sebagai provokasi oleh Agustinus Rahanwarat. sosok yang kini menuai badai protes dari para aktivis muda dan umat Katolik progresif.
“Ini Bukan Tentang Simbol Agama, Tapi Pembusukan Sistem!”
Andreas Luturyali, kader Pemuda Katolik Tanimbar, menegaskan bahwa tudingan Rahanwarat bukan hanya menyesatkan, tapi juga cerminan ketidaksensitifan terhadap derita rakyat.
“Justru kami sedang menjalankan misi profetik gereja: melawan ketidakadilan! Ini bukan soal salib atau jubah, ini tentang keberanian menatap wajah busuk kekuasaan,” tegasnya.
Atribut keagamaan yang digunakan dalam aksi, kata Andreas, adalah simbol identitas dan panggilan moral, bukan alat provokasi. Ia menantang balik:
“Kalau Bapak Rahanwarat khawatir soal simbol, mengapa diam saat praktik KKN justru melecehkan nilai-nilai Injil dalam seleksi pejabat?”
Ia juga mengecam pernyataan Rahanwarat yang dinilai lebih sibuk menjaga “status quo” ketimbang mendengarkan jeritan rakyat.
“Sejarah gereja Katolik dipenuhi darah para martir yang berdiri di garis depan melawan ketidakadilan. Tapi sekarang? Kami malah diminta diam dan bersabar, sementara para penyamun berpesta di atas derita rakyat.”
Mereka menegaskan, diamnya gereja dalam isu ini adalah kegagalan moral. Referensi Vatikan II tentang keterlibatan umat dalam dunia dijadikan dasar bahwa aksi sosial adalah bagian dari iman yang hidup, bukan dosa yang harus dibungkam.
“Kalian Takut Rakyat Bangkit? Lalu Kalian Berpihak pada Siapa?”
Lebih tajam, para demonstran menyebut pernyataan Rahanwarat sebagai bentuk ketakutan elit terhadap kebangkitan rakyat. Ketika sistem seleksi dipenuhi permainan gelap dan peran bayangan, rakyat hanya punya satu senjata tersisa: turun ke jalan.
“Demo adalah hak konstitusional. Ketika negara tak mendengar suara warganya, maka jalankanlah tempat suara itu menemukan gema!” seru Andreas lantang.
Bukti-Bukti Kecurangan: Rakyat Tidak Lagi Bisa Dibohongi
Menanggapi klaim bahwa seleksi sudah sesuai prosedur, para aktivis menantang dibuka secara terang-terangan:
- Pejabat tanpa kompetensi dipilih demi balas jasa politik.
- Proses seleksi dilakukan dalam senyap, tanpa partisipasi dan transparansi.
- Oknum bermasalah tetap diloloskan ada yang pernah terlibat kasus korupsi, perselingkuhan, bahkan diduga pengguna narkoba.
“Ini bukan karena tidak lolos seleksi. Ini karena rakyat tahu ada permainan busuk di baliknya. Kita hidup di tengah sistem yang sedang sakit, dan yang bicara jujur malah dianggap pembangkang!”
Tuntutan Tegas dan Tak Bisa Ditawar: Hapus Hasil Seleksi, Audit Total Proses
Aksi “Pengadilan Rakyat” bukanlah acara teatrikal, tetapi sebuah pernyataan kolektif yang lahir dari frustasi terhadap sistem yang beku. Para aktivis mengajukan tiga tuntutan utama:
- Pembatalan hasil seleksi Sekda dan jajaran PDAM, yang dinilai cacat secara moral dan prosedural.
- Audit independen terhadap seluruh proses rekrutmen oleh lembaga eksternal, bukan tangan pemerintah sendiri.
- Keterlibatan masyarakat sipil dan gereja dalam evaluasi sistem birokrasi, demi memastikan masa depan Tanimbar tidak ditentukan oleh kepentingan segelintir orang.
“Kami tidak sedang mencari panggung. Kami sedang berperang untuk masa depan. Ini bukan tentang kepentingan pribadi, ini tentang hak anak-anak kami untuk hidup dalam pemerintahan yang bersih,” tutup Andreas dengan suara gemetar namun mantap.
Di saat banyak yang memilih diam demi kenyamanan, barisan rakyat Tanimbar memutuskan untuk berbicara sekalipun harus melawan suara-suara yang seharusnya membela mereka. Ini bukan provokasi. Ini adalah suara nurani yang sudah terlalu lama dibungkam. Dan ketika nurani bersuara, bahkan kekuasaan tak akan bisa membungkamnya. (KN-07)