Saumlaki, KapataNews.com – Polemik kepemilikan hak petuanan Pulau Sukler di wilayah 51 Seira, Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar kembali mencuat ke permukaan. Upaya penyelesaian secara adat ditempuh melalui Sidang Adat, yang difasilitasi oleh Camat Wermaktian melalui sebuah surat rekomendasi resmi.
Dalam surat Rekomendasi Nomor 130/17/2025, Camat Wermaktian menyatakan bahwa sidang adat merupakan proses penyelesaian sengketa petuanan antar marga yang berada dalam wilayah desa di Kecamatan Wermaktian. Surat itu juga menyebut pelaksanaan sidang adat ini merujuk pada Pasal 10 Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa.
Melalui rekomendasi tersebut, Camat menunjuk Kepala Desa Weratan, Wilzon Layan, sebagai koordinator pelaksanaan Sidang Adat bersama seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah desa, BPD, dan lembaga adat di wilayah 51 Seira. Sidang dijadwalkan dilaksanakan langsung di Balai Desa Weratan dengan tetap mengacu pada tradisi adat yang berlaku.
Surat rekomendasi itu juga mengatur agar proses sidang adat menjunjung prinsip keadilan, netralitas, dan profesionalitas, serta mewajibkan koordinasi dengan aparat keamanan. Hasil dari sidang tersebut diminta untuk dilaporkan kembali kepada Camat Wermaktian.
Namun, niat baik Charles Utuwaly selaku Camat Wermaktian untuk memediasi penyelesaian konflik adat itu menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk kalangan pemerhati hukum adat dan tata kelola pemerintahan desa.
Rekomendasi atau Perintah? Status Hukum Surat Dipertanyakan
Menurut warga desa Welutu yang hadir dalam sidang adat tersebut, menyebutkan bahwa surat tersebut secara redaksional menyatakan “rekomendasi”, namun isinya justru mengandung instruksi yang mengikat.
“Surat ini menyuruh secara langsung kepala desa dan pihak adat melaksanakan sidang, menunjuk koordinator, bahkan mengatur prinsip pelaksanaannya. Ini bukan sekadar rekomendasi, tetapi bersifat perintah. Secara administratif, ini cacat karena tidak sesuai nomenklatur surat,” ujar salah seorang warga desa yang meminta untuk dirahasiakan identitasnya. Selasa (24/6/2025).
Menurut sumber, rekomendasi bersifat tidak mengikat, sehingga bila pelaksana tidak menindaklanjuti, tidak ada konsekuensi hukum. Jika Camat bermaksud mengarahkan secara struktural, seharusnya menggunakan bentuk Instruksi Camat atau Surat Keputusan yang jelas.
Kewenangan Camat Tidak Dijelaskan
Surat rekomendasi itu merujuk pada Pasal 10 Permendagri 18 Tahun 2018, namun tidak menguraikan landasan kewenangan Camat untuk campur tangan langsung dalam pelaksanaan sidang adat.
Sekelompok masyarakat yang hadir dalam sidang sengketa Pulau Sukler itu juga mengatakan bahwa urusan adat semestinya berada dalam ranah Lembaga Adat Desa, bukan pejabat administratif.
“Camat bukan pemangku adat. Kecuali ada permintaan dari tokoh adat atau musyawarah bersama, tidak bisa Camat langsung tentukan siapa yang koordinir atau di mana tempat sidang,” ungkap sumber.
Penunjukan Kepala Desa Weratan Sebagai Koordinator Tanpa Musyawarah
Kritik juga diarahkan pada penunjukan Kepala Desa Weratan, Wilzon Layan, sebagai koordinator pelaksanaan. Beberapa tokoh adat dan kepala desa dari desa lain di wilayah 51 Seira mengaku tidak dilibatkan dalam penentuan tersebut.
Pemilik Petunanan Pulau Sukler Thomy Lenunduan menilai langkah itu bisa memicu resistensi.
“Pulau Sukler ini objek sensitif. Kalau pemimpin sidangnya hanya dari satu desa, bisa dianggap tidak netral,” tegasnya.
Ketiadaan Tenggat Waktu dan Peta Lokasi Objek Sengketa
Poin lainnya yang dikritik adalah tidak adanya batas waktu pelaksanaan sidang dan pelaporan hasilnya. Hal ini dinilai bisa menimbulkan ketidakpastian serta memperpanjang konflik.
Selain itu, surat juga tidak menyertakan lampiran peta lokasi Pulau Sukler atau uraian batas wilayah yang disengketakan. Tanpa kejelasan objek, proses sidang adat dikhawatirkan akan multitafsir dan membuka ruang sengketa lanjutan.
Minimnya Mekanisme Evaluasi dan Sanksi
Surat Rekomendasi Nomor 130/17/2025 juga tidak memuat ketentuan tentang mekanisme evaluasi atas pelaksanaan sidang adat maupun konsekuensi bila hasilnya tidak dilaporkan.
Hal ini menjadi celah hukum, terutama jika proses sidang tidak berjalan sebagaimana prinsip yang dicantumkan dalam surat, yakni netralitas dan keadilan.
Surat Resmi, Namun Tidak Sistematis
Dari aspek redaksional dan penulisan, surat rekomendasi itu juga dinilai tidak sistematis. Struktur kalimat yang tidak rapi, penomoran poin yang tidak konsisten (huruf a, b, c, tanpa pendahulu), serta penggunaan bahasa yang kurang formal mengurangi legitimasi surat tersebut sebagai dokumen resmi.
Para tokoh adat dan pemerhati kebijakan menyarankan agar Camat Wermaktian merevisi surat tersebut, melibatkan musyawarah antar kepala desa dan lembaga adat Seira Blawat, serta memperjelas batas kewenangannya.
Diduga surat yang bertujuan mendamaikan justru menjadi sumber konflik baru. Dalam urusan adat, musyawarah dan kesetaraan semua desa adalah hal mutlak.
Catatan Redaksi: Hingga berita ini diturunkan, Camat Wermaktian belum memberikan keterangan resmi terkait kritik atas surat Rekomendasi tersebut. (KN-07)