Ambon,Kapatanews.com – Di tengah ramai kritik terhadap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) proyek Maluku Integrated Port (MIP) di Osaka, Jepang beberapa waktu lalu, sejumlah pihak justru menyerukan agar publik bersikap kritis secara berimbang. Mereka menilai tudingan bahwa Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa menyembunyikan isi MoU dan memiliki kepentingan pribadi terlalu tergesa dan tidak berbasis fakta.
Sekretaris DPD KNPI Provinsi Maluku, Almindes F. Syauta, menegaskan bahwa narasi yang dibangun sebagian pihak justru kontraproduktif terhadap semangat Maluku keluar dari keterisolasian ekonomi.
Menurutnya, proyek MIP bukan proyek pribadi Gubernur, melainkan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029.
“Kita harus luruskan, yang menandatangani MoU bukan Pemerintah Provinsi, tapi pihak swasta, PT Indonesia Mitra Jaya (IMJ) dan perusahaan Tiongkok Shanxi Sheng’an Co., Ltd. Gubernur hanya menyaksikan sebagai simbol dukungan pemerintah daerah terhadap arah pembangunan nasional,” ujar Syauta, Minggu (19/10/2025).
Ia menjelaskan, publik perlu memahami bahwa MoU tersebut bersifat non-binding atau belum mengikat secara hukum. Artinya, dokumen itu baru menjadi pintu awal penjajakan investasi, bukan kontrak kerja sama yang sudah final.
“Kalau kita bicara MoU, ini baru tahap penjajakan. Belum ada aliran dana, belum ada penggunaan lahan, belum ada pelibatan tenaga kerja. Jadi terlalu dini menuduh ada kepentingan terselubung,” tegasnya.
Syauta menilai, sikap sebagian pihak yang menyerang pribadi Gubernur tanpa memahami konteks justru memperlemah kepercayaan investor terhadap Maluku. Padahal selama ini, daerah ini tertinggal karena minim investasi dan keterbatasan infrastruktur pelabuhan.
“Kita jangan selalu curiga. Selama ini Maluku kalah bersaing karena iklim investasi dianggap tidak stabil. Begitu ada peluang besar lewat PSN, malah kita rusak dengan narasi konspiratif. Ini langkah mundur,” ujarnya.
Lebih lanjut, Syauta menekankan bahwa transparansi publik tetap penting, namun harus ditempatkan dalam proporsi yang benar.
“Transparansi bukan berarti membuka semua isi dokumen bisnis mentah ke publik. Ada proses verifikasi dan legalisasi. Tapi ketika nanti sudah masuk tahap perjanjian resmi atau kerja sama pemerintah, publik tentu wajib tahu. Itu mekanismenya,” jelasnya.
Ia juga menilai langkah Gubernur Hendrik Lewerissa menghadiri penandatanganan MoU di Osaka merupakan bentuk diplomasi ekonomi yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemimpin daerah Maluku.
“Kita perlu pemimpin yang berani keluar dan bicara langsung dengan dunia. Kalau gubernur berani membuka pintu untuk investor datang, itu bukan soal pribadi, tapi soal masa depan ekonomi Maluku,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Syauta mengingatkan bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi, namun harus dibangun di atas data dan niat baik untuk memperbaiki, bukan untuk memperlambat laju pembangunan.
“Kritik boleh, tapi harus konstruktif dan solutif. Jangan jadikan setiap langkah pembangunan sebagai bahan serangan politik. Karena pada akhirnya, yang dirugikan bukan gubernur, tapi rakyat kecil yang butuh pekerjaan dan infrastruktur,” tutupnya.
Proyek Maluku Integrated Port sendiri direncanakan menjadi pelabuhan logistik berstandar internasional yang akan menjadi pusat konektivitas antara pulau-pulau di Maluku dan kawasan timur Indonesia. Jika terealisasi, proyek ini diproyeksikan membuka ribuan lapangan kerja baru dan mempercepat pertumbuhan ekonomi regional (*)











