Saumlaki, Kapatanews.com – Upaya penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sukler melalui mekanisme sidang adat resmi yang digelar oleh lima pemerintah desa Seira di Balai Desa Weratan pada Senin (23/06), berakhir dengan kegagalan.
Ketegangan yang mencuat dalam proses persidangan antara Marga Lenunduan dan Marga Watutman memaksa sidang dihentikan tanpa keputusan final. Pihak-pihak yang terlibat kini diarahkan untuk menempuh jalur hukum di Pengadilan Negeri Saumlaki.
Sidang adat yang dipimpin oleh Kepala Desa Weratan, Wilzon Layan, berlangsung dengan tensi tinggi sejak awal. Meski semula disepakati sebagai forum mediasi berbasis adat yang bertujuan menetapkan status hak kepemilikan Pulau Sukler, pelaksanaan sidang justru memicu perdebatan dan saling sanggah antar pihak.
Menurut Wilzon Layan, sidang ini dilaksanakan berdasarkan rekomendasi resmi dari Camat Wermaktian, Charles Utuwaly, dan merupakan hasil koordinasi bersama lima kepala desa di wilayah Seira, ketua-ketua BPD, serta lembaga-lembaga adat.
“Perjalan saya dipercaya dari Camat untuk mengkoordinir dan mencari langkah-langkah bersama untuk melaksanakan sidang adat antara dua marga yaitu Lenunduan dan Watutman yang diinginkan supaya kami menggelar sidang adat ini untuk mengetahui hak kepemilikan Pulau Sukler. Karena dari sananya Marga Lenunduan dikenal yang menguasai atas Pulau Sukler
Namun perjalanannya datanglah Bori Watutman untuk mau menuntut Pulau Sukler. Dengan tidak tahu langkah apa yang mau ditempuh maka diadakan langkah mediasi di tahun 2024 sampai kepada tingkat menerima rekomendasi dan atas persetujuan bersama, saya dipercayai oleh empat kepala desa, lima ketua BPD dan lembaga-lembaga adat untuk berada posisi ketua sidang adat, Kepala Desa Welutu wakil ketua sidang adat, anggota sidang adat Agabus Fenanlabir, Imer Matruty, Abinel Sou Kora,” ujar Wilzon dalam wawancara terpisah dengan media.
Ia menambahkan bahwa undangan resmi telah disampaikan kepada kedua marga yang bersengketa dan sidang dijadwalkan berlangsung pada pukul 12.00 WIT. Namun, dalam pelaksanaannya, sidang mengalami banyak gangguan, termasuk interupsi dan penolakan dari pihak Marga Lenunduan.
Penolakan dari Lenunduan: Tidak Sah Secara Adat
Pihak Marga Lenunduan, yang diwakili oleh Tomy Lenunduan menolak legitimasi sidang sejak awal karena menurutnya tidak melibatkan tokoh-tokoh adat yang memiliki kapasitas.
“Terkait acara sidang adat hanya pemangku kepentingan yang hadir di sini. Jika kita bicara terkait persoalan adat yang mana bicara terkait kebenaran dan tatanan adat yang diwariskan dari dulu kala sampai sekarang ini, maka semua harus ikut andil dalam persoalan ini. Saya melihat lembaga-lembaga adat Welutu semuanya tidak ada. Orang yang punya kapasitas dan memiliki kemampuan untuk duduk di sidang adat ini untuk mengambil keputusan yang lurus,” kata Tomy tegas.
Kritik lebih keras datang dari Boly Lenunduan yang mempertanyakan siapa pihak penggugat. Ia merasa asing terhadap klaim yang dilayangkan Marga Watutman.
“Dari awal saya sudah katakan untuk tolak karena pihak yang mengklaim punya Pulau Sukler, saya tidak kenal dia. Entah asal usulnya dari mana tiba-tiba datang mengklaim punya Pulau Sukler. Saya sangat yakin bahwa Bapak-Bapak yang duduk di depan ini sangat tahu yang punya Pulau Sukler itu Marga apa,” tegasnya. Ia melanjutkan, “Yang merasa tidak puas silahkan tuntut ke pengadilan.”
Sikap Tegas dari Kepala Desa Welutu
Kepala Desa Welutu, Kibener Iyarmasa, turut menyatakan keberatannya terhadap proses sidang. Ia menyoroti bahwa dirinya, sebagai kepala desa di mana Marga Lenunduan tinggal, tidak pernah dilibatkan secara resmi.
“Saya menggubris awal tersusunnya persidangan ini sampai per hari ini. Saya sebagai kepala desa definitif berdiri di depan sidang ini sebagai kepala desa, tapi per hari ini Saudara Bori Watutman bukan masyarakat saya dari Desa Welutu. Namun Lenunduan adalah masyarakat saya dari Desa Welutu,” kata Kibener.
Ia juga mengkritik ketidakhadiran undangan resmi yang seharusnya dikirim oleh panitia sidang. “Surat undangan sudah pernah dilayangkan namun sampai saat ini undangan tersebut tidak pernah sampai ke tangan saya. Padahal sebagai pimpinan Desa Welutu, saya juga mampu menjalankan sidang ini,” katanya.
Kibener menegaskan, “Saya harus katakan ini sesuai prosedur.” Ia juga menambahkan bahwa sidang adat ini telah menghabiskan anggaran pemerintah Desa Rp20 juta yang di ambil dari Pendapatan Asli Desa (PADes) untuk acara sidang adat ini, tapi juga mempertanyakan manfaat nyata dari sidang tersebut yang berujung pada ketegangan tanpa keputusan.
“Saya harus buka-bukaan sesuai realita yang terjadi. Saya adalah kepala desa yang dipilih oleh rakyat dan adalah kepala desa definitif dan tidak berpihak kepada siapapun tapi saya bicara sesuai porsi dan jati diri saya sebagai kepala desa Welutu,” tambahnya.
Pernyataan Terakhir dari Tomy Lenunduan Sebelum Mundur
Menanggapi sikap tersebut, Tomy Lenunduan kembali menegaskan bahwa Pulau Sukler merupakan milik sah Marga Lenunduan.
“Semua yang ada di forum ini dari Desa Weratan sampai Desa Kamatubun tahu bahwa kami Lenunduan memiliki hak makan atas Pulau Sukler sesuai tutur sejarah dari zaman dahulu kalah. Apakah yang sudah diturunkan dari para leluhur tetap kami berpegang teguh bahwa Pulau Sukler adalah milik kami Lenunduan, maka kami akan pertahankan itu,” katanya.
Ia lalu menegaskan, “Jika Saudara Bori Watutman merasa dirugikan, silahkan berproses ke pengadilan,” tutup Tomy sebelum mengundurkan diri dari persidangan adat tersebut.
Watutman Ingin Proses Adat Dihormati
Disisi lain, Bori Watutman menyatakan bahwa ia sudah mengikuti prosedur sebagaimana mestinya, termasuk upaya mediasi di tingkat Polres. Ia menganggap sidang adat merupakan langkah penting yang harus ditempuh sebelum perkara dibawa ke ranah perdata.
“Tahapan-tahapan ini kita lalui persidangan ini dengan klarifikasi, tahap pertama sudah kami jalankan dan melalui sidang adat, bahkan masalah ini dilaporkan sampai Polres. Dan dikembalikan persoalan ini untuk diurus sesuai prosedur dengan diadakannya sidang adat. Oleh karena itu dengan sidang adat ini jika siapa yang kalah dan menang, maka kita nanti dapat masuk ke ranah perdata,” ujar Bori.
Ia menegaskan, “Saya lahir dari adat, maka persoalan ini diselesaikan lewat hukum adat yang menurut saya sebelum Indonesia merdeka hukum adat itu sudah ada. Itu yang menjadi dasar mediasi menuju keputusan selanjutnya.”
Jalur Hukum Jadi Solusi Terakhir
Kegagalan forum adat ini mengindikasikan lemahnya struktur kelembagaan adat dalam menangani konflik internal antar marga, terutama dalam situasi yang sarat kepentingan dan ketegangan sejarah. Ketidakhadiran tokoh-tokoh adat yang netral, lemahnya koordinasi antar pemerintah desa, serta minimnya transparansi undangan menjadi catatan penting ke depan.
Menutup jalannya sidang, Ketua Sidang Wilzon Layan menyatakan bahwa demi menghindari konflik fisik dan potensi korban jiwa, jalur pengadilan menjadi pilihan paling rasional.
“Intinya untuk rencana pemerintah mau supaya dua kubu ini harus diatur dengan adat istiadat supaya jangan menimbulkan hal-hal yang menjadi pergesekan atau terjadi pertumpahan darah. Baik bagi keluarga Lenunduan maupun Watutman. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan saya sebagai Ketua Sidang Adat, supaya jangan menimbulkan konflik dan menimbulkan korban jiwa, saya memutuskan sidang adat ini saya tutup dan akan kami memberikan keterangan kepada kedua pihak untuk melanjutkan ke pengadilan negeri Saumlaki,” tutup Wilzon. (KN-07)