Saumlaki, Kapatanews.com – Di bawah langit Tanimbar yang perlahan memerah senja, dering telepon memecah keheningan di ruang kerja seorang pejabat. Sebuah panggilan sederhana yang ternyata menyimpan makna besar tentang hubungan antara wartawan dan pemerintah daerah.
Bukan wawancara resmi, bukan juga permintaan klarifikasi yang tegang. Hanya suara lembut seorang jurnalis madya yang gugup menyapa di ujung sambungan. Namun, dibalik nada itu tersimpan keberanian untuk memulai percakapan yang tulus.
Hari itu, Kamis, 30 Oktober 2025, menjadi penanda awal perubahan kecil di dunia jurnalistik Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Di tengah kesibukan pemerintahan, seorang Sekretaris Daerah Brampi Moriolkosu membuka ruang komunikasi baru hangat, terbuka, dan manusiawi.
Para wartawan yang selama ini terbiasa berhadapan dengan dinding birokrasi, mendadak menemukan pintu lain: pintu hati dan rasa hormat. Pintu yang dibuka lewat sebuah telepon.
Salah satu di antara mereka adalah Jems Masela, wartawan yang telah bertahun-tahun menulis tentang Tanimbar. Ia tahu betul bahwa keberanian pertama untuk menelepon pejabat tinggi bukanlah hal mudah.
“Awalnya saya takut dianggap mengganggu,” katanya dengan jujur.
“Tapi ketika beliau menjawab dan berbicara dengan begitu ramah, rasa takut itu hilang.”katanya.
Sekda menjawab dengan suara tenang. Ia tidak berbicara seperti pejabat, melainkan seperti teman lama yang menunggu kabar.
“Silahkan, Saudara. Cerita saja, saya senang mendengar,” ujarnya di ujung sambungan.
Dalam kalimat yang singkat itu, para wartawan seolah mendapat pelajaran penting tentang esensi komunikasi. Bahwa komunikasi sejati tidak lahir dari jabatan, melainkan dari niat untuk saling memahami.
Hari berganti, percakapan serupa semakin sering terjadi. Wartawan yang sedang mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) pun ikut menelpon Sekda untuk berdiskusi ringan, bukan hanya untuk mencari bahan berita.
Mereka berbicara tentang banyak hal: tentang pembangunan, tentang masyarakat pesisir, bahkan tentang semangat menjaga kejujuran dalam profesi. Dari setiap percakapan itu, kehangatan terasa tumbuh.
“Sekda itu bukan sekadar narasumber. Beliau lebih seperti mentor yang membimbing kami agar tetap menulis dengan nurani,”ujarnya lagi.
Para wartawan mulai menyadari, berita terbaik tidak selalu lahir dari ruang konferensi pers, tetapi dari hubungan personal yang dijaga dengan tulus.
Telepon pun menjadi simbol baru bagi mereka bukan sekadar alat kerja, melainkan jembatan rasa. Dari nada panggilan, mereka belajar bagaimana menghargai waktu, sopan santun, dan cara berbicara dengan hormat.
Sekda pun memahami hal itu. Ia menyadari bahwa wartawan bukan musuh, melainkan mitra yang membantu pemerintah menyampaikan kebijakan dengan jujur kepada masyarakat.
“Yang penting komunikasi dijaga dengan hati,” katanya suatu kali.
Jangan hanya karena perbedaan pandangan, kita saling menutup diri.
Kata-kata itu melekat di hati banyak jurnalis muda. Mereka mulai mengubah cara pandang terhadap pejabat pemerintah. Tidak semua kaku, tidak semua tertutup ada yang benar-benar ingin mendengar.
Percakapan lewat telepon kemudian berkembang menjadi hubungan yang akrab. Kadang sekadar menanyakan kabar, kadang berbagi cerita tentang kondisi lapangan. Tak ada jarak, tak ada protokol yang menegangkan.
Teknologi mungkin memperpendek jarak, tapi sentuhan personal lah yang membuat komunikasi menjadi berarti. Dari layar ponsel, tumbuh rasa saling menghormati antara dua profesi yang sering dianggap berseberangan.
Sekda bahkan beberapa kali menelepon balik. ‘Bagaimana kabar di lapangan? Ada kesulitan?’ tanyanya dengan nada perhatian. Kalimat sederhana yang membuat para wartawan merasa dihargai.
Sejak saat itu, hubungan antara pers dan pemerintah daerah di Tanimbar menjadi lebih cair. Tidak lagi dipenuhi prasangka, tetapi dilandasi rasa saling percaya.
“Sekda mengajarkan kami tentang adab dan kesantunan dalam bekerja, bahwa berita yang baik berawal dari niat yang baik pula.” ujar Masela.
Dari percakapan ke percakapan, muncul banyak pelajaran hidup. Wartawan belajar untuk tidak tergesa, pejabat belajar untuk lebih terbuka. Dunia jurnalistik yang biasanya keras, kini terasa lebih manusiawi.
Ketika dunia luar ramai oleh persaingan dan berita sensasional, di Tanimbar tumbuh kisah yang lembut: kisah tentang wartawan yang berani berbicara dengan hati, dan pejabat yang mau mendengar dengan ketulusan.
Bagi Masela dan rekan-rekannya, pengalaman ini bukan sekadar kenangan. Ini adalah langkah baru menuju jurnalisme yang beretika dan bermartabat.
Hubungan yang dibangun tanpa pamrih ini menjadi fondasi kuat bagi kepercayaan publik. Karena berita yang lahir dari hati, akan sampai ke hati pula.
Kini, setiap kali telepon berdering di ruang Sekda, suasananya tidak lagi kaku. Nada dering itu seperti lagu persahabatan yang menghubungkan dua dunia: kekuasaan dan kebenaran.
Dalam percakapan yang sederhana, mereka saling memahami bahwa tujuan mereka sama membangun Tanimbar agar lebih baik, lebih transparan, dan lebih berdaya.
Di balik panggilan itu, tersembunyi nilai kemanusiaan yang mendalam. Tentang rasa hormat, kejujuran, dan keberanian untuk saling percaya.
Wartawan bukan hanya pencari berita, tetapi juga penulis kisah tentang hubungan antar manusia. Dan pejabat bukan hanya pelaksana kebijakan, tetapi juga penutur kisah pembangunan dengan hati.
Dari Tanimbar, kisah ini berlayar seperti angin laut sore hari: tenang, hangat, dan membawa pesan kebaikan bagi dunia pers Indonesia.
Bahwa di tengah hiruk-pikuk politik dan kebisingan berita, selalu ada ruang kecil di mana komunikasi yang tulus masih hidup.
Dan mungkin, di suatu sore nanti, dering telepon itu kembali terdengar bukan sebagai permintaan wawancara, melainkan sebagai sapaan dari hati yang ingin terus menjaga kedekatan. (KN-07)











