Saumlaki, Kapatanews.com – Keresahan kembali mengemuka di tengah para pedagang kaki lima di Pasar Larat, Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Pada Minggu, 13 April 2025, mereka mengatakan kecurigaan terhadap legalitas sertipikat tanah yang diklaim milik seorang pengusaha ternama di wilayah itu, Atyan. Dugaan adanya praktik tidak transparan dalam alih kepemilikan lahan semakin memperkeruh suasana.
Pasar Larat yang selama ini menjadi pusat aktivitas ekonomi masyarakat setempat, kini diwarnai tanda tanya besar. Para pedagang mempertanyakan bagaimana bisa seorang pengusaha memiliki sertipikat tanah lebih awal dari keberadaan lahan yang secara simbolis diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat.
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Sebagian masyarakat menyoroti status tanah yang berkaitan dengan keberadaan Masjid Al-Muhidin, yang berdiri tidak jauh dari lokasi pasar. Hingga kini, belum pernah ditunjukkan dokumen sah berupa sertipikat yang menyatakan tanah tersebut milik masjid. Sebaliknya, justru muncul sertipikat atas nama pribadi, yang memicu pertanyaan dan kekhawatiran akan terjadinya ketidakadilan struktural.
“Kami tidak pernah melihat sertipikat atas nama Atyan ditunjukkan dalam pertemuan-pertemuan resmi, baik saat masa pemerintahan Bupati Petrus Fatlolon, SH., MH maupun ketika persoalan ini dibahas oleh Komisi C DPRD tahun 2024,” ungkap seorang pedagang yang meminta agar namanya tidak dipublikasikan.
Ia menambahkan, peralihan lahan kepada pengusaha itu tampak janggal sejak awal. Menurutnya, pemerintah hanya menyerahkan lahan secara simbolis tanpa dokumen yang sah atau surat pelepasan hak.
Yang lebih mencurigakan, lanjut pedagang tersebut, adalah fakta bahwa sertipikat atas nama Atyan disebut telah terbit sejak 2019, sementara lahan baru diserahkan kepada masyarakat pada 2022.
“Logikanya, bagaimana bisa seseorang memiliki sertipikat atas tanah yang bahkan belum secara resmi diserahkan? Ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam prosesnya,” katanya dengan nada heran.
Di sisi lain, keberadaan Masjid Al-Muhidin justru tidak memiliki dasar hukum kepemilikan lahan yang jelas. Padahal, masjid tersebut telah berdiri dan digunakan untuk ibadah sejak lama. Ketimpangan ini menimbulkan kekecewaan di kalangan warga, yang merasa tempat ibadah mereka justru tidak memiliki posisi hukum yang kuat dibanding kepentingan bisnis.
“Apakah hukum di negara ini hanya berpihak kepada yang berduit? Masjid kami tidak memiliki sertipikat, tapi pengusaha itu sudah punya hak milik lebih dulu. Ini menyakitkan,” tutur seorang pedagang lain dengan wajah penuh amarah.
Ketidakjelasan status lahan tersebut juga memunculkan kecemasan bahwa masyarakat kecil dapat dengan mudah terpinggirkan demi kepentingan ekonomi pihak tertentu. Terlebih, tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah daerah terkait status hukum lahan itu, baik untuk pasar maupun untuk masjid.
Akibatnya, para pedagang mendesak agar pemerintah daerah serta aparat penegak hukum segera turun tangan menyelidiki dan mengklarifikasi asal-usul sertipikat tanah yang dipersoalkan. Mereka juga meminta audit terhadap proses sertifikasi, termasuk kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang dalam alih kepemilikan tanah publik menjadi milik pribadi.
Mereka menilai, keterlibatan pihak berwenang sangat penting untuk menegakkan asas keadilan dan memastikan tidak ada pihak yang dirugikan. Bagi mereka, tanah yang seharusnya menjadi milik publik tidak boleh dengan mudah beralih ke tangan segelintir orang tanpa dasar hukum yang jelas.
“Kalau ini terus dibiarkan, kami khawatir bukan hanya pasar yang hilang, tapi juga masjid kami. Kami ingin kejelasan, dan kami ingin keadilan ditegakkan di negeri sendiri,” tegas seorang perwakilan pedagang yang ikut dalam pertemuan informal membahas persoalan tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar maupun pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) setempat terkait keabsahan sertipikat tanah yang dipersoalkan.
Para pedagang berharap, polemik ini menjadi perhatian serius seluruh pihak, khususnya Pemerintah Daerah, DPRD, dan aparat penegak hukum, agar hak masyarakat kecil tidak tergilas oleh kepentingan para pemilik modal. Sebab bagi mereka, tanah bukan sekadar lokasi berdagang, tapi juga simbol kehadiran mereka sebagai bagian dari masyarakat Bumi Duan-Lolat yang sah dan berdaulat. (KN-07)