Saumlaki, Kapatanews.com – Laut yang tampak tenang di selatan Pulau Timor menyimpan rahasia kelam yang melibatkan nyawa, hukum internasional, dan aliran uang haram bernilai miliaran rupiah.
Investigasi mendalam wartawan media ini mengungkap aktivitas pencurian sumber daya hayati secara masif oleh para nelayan Indonesia yang kembali memburu teripang (sea cucumber) di perairan Australia sebuah tindakan ilegal yang kini dibekingi oleh kekuatan uang dan pengaruh.
Sumber utama penggerak bisnis ini adalah seorang pengusaha lokal bernama Firman, yang disebut-sebut sebagai dalang di balik rantai distribusi teripang ilegal dari perairan Australia menuju pasar gelap Asia.
Penyusupan oleh nelayan-nelayan dari Indonesia ke wilayah perairan Australia bukan cerita baru. Namun, laporan-laporan intelijen perikanan Australia yang diperoleh menunjukkan lonjakan aktivitas dalam beberapa bulan terakhir.
Dari udara, tampak kapal-kapal kayu bermotor sederhana berlayar diam-diam di tengah malam, bermodalkan GPS murah dan keyakinan nekat.
Dalam wawancara dengan salah satu mantan anak buah kapal (ABK) yang kini bersembunyi di wilayah Amanuban, terungkap bahwa mereka ditugaskan selama 12 hingga 14 hari di laut, menyusup ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) Australia, berburu teripang dengan risiko tinggi.
“Pernah ada Dua teman saya ditangkap oleh Polisi Australia dan kapal kita disita dan dikembalikan tapi bos tidak peduli. Yang penting hasilnya sampai,” ujar sumber kami, yang meminta identitasnya dirahasiakan dengan wajah pucat dan tangan gemetar.
Semua hasil buruan ilegal itu dikirim ke sebuah gudang tertutup di Pasar Omele, yang oleh masyarakat sekitar hanya dikenal sebagai “Gudang Ikan Kering.” Namun, dari pantauan selama seminggu, aktivitas di tempat itu jauh dari kata biasa.
Truk-truk tertutup datang pada malam hari, membawa karung-karung basah dengan bau laut yang menyengat.
Seorang pedagang yang enggan disebutkan namanya menyebut gudang itu hanya dikelola oleh orang-orang Firman, dan tak sembarang orang bisa masuk.
“Di dalam itu bukan cuma teripang. Ada sirip hiu, ada teripang juga. Tapi asal-usulnya semua dari sana, dari laut Australia. Kami tahu, karena nelayan sini tidak punya hasil sebanyak itu,” katanya sambil menunjuk ke arah barat laut, seolah menunjukkan arah negeri tetangga.
Investigasi lebih lanjut menemukan dugaan manipulasi data dalam sistem logistik dan distribusi perikanan. Teripang-teripang itu diangkut ke luar daerah dengan dokumen pengantar hasil tangkapan yang menyebut “asal tangkapan: Perairan Kupang.”
Namun berdasarkan metadata GPS dari log pelayaran kapal-kapal nelayan yang berhasil disalin dari perangkat mereka, diketahui bahwa lokasi aktual penangkapan terjadi di koordinat -10.5 hingga -11.3 Lintang Selatan, yang secara hukum berada di dalam ZEE Australia.
“Kalau ditangkap di sana (Australia), hukumannya berat. Bisa dipenjara sampai lima tahun atau kapal disita,” ujar seorang penyidik kelautan dari Dinas Perikanan Tanimbar yang menolak namanya disebut. “Tapi karena ada uang dan pengaruh, semuanya diloloskan seolah-olah legal.”
Setelah sempat menjadi perbincangan dan disebut-sebut sebagai dalang di balik bisnis ilegal teripang yang melibatkan pelanggaran wilayah laut Australia, Dalam wawancara eksklusif dengan Wartawan Kapatanews.com, Firman secara terbuka mengakui keterlibatannya dalam pembiayaan operasi nelayan yang mengambil teripang secara ilegal di perairan Australia.
“Saya akui, itu saya lakukan dan saya juga mendanai mereka untuk ambil teripang di Australia,” ungkap Firman dengan nada serius.
Namun, ia menyatakan bahwa seluruh aktivitas tersebut telah dihentikan sejak adanya peningkatan pengawasan dan intervensi dari aparat penegak hukum, baik dari dalam negeri maupun otoritas Australia.
Firman mengungkapkan bahwa ia memutuskan untuk menghentikan seluruh kegiatan ilegal itu setelah dirinya dipanggil oleh pihak Kepolisian dan PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) saat aparat Australia datang ke Tanimbar untuk menangani kasus ini.
“Ketika saya dipanggil oleh pihak Kepolisian, PSDKP saat pihak Australia datang di Tanimbar, saya kemudian berhenti dan tidak lagi menjalankan bisnis ini. Saya lebih memilih untuk bisnis di lokal dan di dalam perbatasan Indonesia,” tambahnya.
Firman mengaku kini tengah fokus pada usaha pengolahan hasil laut secara legal di wilayah Kepulauan Tanimbar dan tidak lagi melibatkan diri dalam kegiatan penangkapan teripang di luar wilayah hukum Indonesia.
Pernyataan ini sekaligus menjadi pengakuan pertama yang muncul dari sosok yang selama ini berada di balik layar bisnis teripang ilegal bernilai miliaran rupiah. (KN-07)