Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Hukum & Kriminal

Masela: Mafia WNA, Paspor Disita, Imigrasi Main Mata Demi Uang Haram

×

Masela: Mafia WNA, Paspor Disita, Imigrasi Main Mata Demi Uang Haram

Sebarkan artikel ini

Saumlaki, Kapatanews.com – Dua kantor imigrasi di bawah Kementerian Hukum dan HAM, yakni Imigrasi Kelas I Ambon dan Imigrasi Kelas II Tual, tengah diterpa badai dugaan pelanggaran hukum serius. Penegakan hukum yang mestinya menjadi pilar keadilan, kini dipertanyakan publik. Aroma busuk permainan kotor dan indikasi keuntungan pribadi menyeruak dari penanganan domisili dua Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal secara tidak sah di wilayah Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Fakta mencengangkan terungkap: dua WNA bercokol di kontrakan kawasan Terminal Pasar Lama Tanimbar Raya bukan di hotel sebagaimana diamanatkan regulasi keimigrasian. Mereka bahkan menjalankan aktivitas bisnis ilegal, menyewa bangunan yang bukan milik mereka untuk dijadikan tempat usaha. Ironisnya, keberadaan mereka berlangsung dengan aman dan nyaman, tanpa intervensi hukum, seolah dilindungi oleh tangan-tangan tak kasat mata.

Sementara itu, dua WNA lain yang patuh aturan dan menginap di Hotel Harapan Indah (HI) justru mengalami perlakuan yang mengejutkan. Paspor mereka disita oleh oknum Imigrasi Ambon, tanpa penjelasan hukum yang sah. Penahanan dokumen penting ini berlangsung tanpa dasar pelanggaran jelas, menciptakan ketidakpastian hukum dan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Ini bukan penegakan hukum, ini pesan sponsor!” kecam Jems Masela, pemuda lokal yang gencar menyuarakan keganjilan tersebut. Ia menuding bahwa penyitaan paspor dilakukan atas dasar pesanan, sementara dua WNA pelanggar justru dibiarkan bebas beraktivitas. “Kalau belum ada pelanggaran, bagaimana bisa langsung disita? Justru yang sudah jelas melanggar, dibiarkan hidup nyaman!” tegas Jems.

Lebih parah lagi, terkuak bahwa dua WNA yang tinggal di kontrakan itu terkait dengan penangkapan enam drum BBM ilegal jenis solar oleh Polairud Tanimbar. Penanggung jawab mereka, Kamaluddin alias Latoy, diduga menjadi dalang penyelundupan BBM ke perbatasan Australia. Jems mengungkap bahwa dua WNA tersebut bahkan telah membeli dua kapal, salah satunya berkapasitas 3 GT yang tertangkap memuat BBM ilegal di Pelabuhan Ikan Omele.

Keterlibatan dua WNA ini dalam jaringan perdagangan gelap BBM dan rencana eksploitasi teripang di perairan perbatasan Australia mengguncang publik. Fakta bahwa mereka dibiarkan bebas oleh Imigrasi, sementara WNA lain justru ditindas, membuktikan adanya dugaan pengkhianatan terhadap hukum dan jabatan.

Nama Bruner Berd Souhuwat, seorang intelijen di Imigrasi Ambon, turut disorot. Ia dituding bertindak di luar kewenangan hukum, serta memiliki kepentingan pribadi atau kelompok. “Penyitaan paspor seharusnya dilakukan sesuai hukum yang berlaku, bukan berdasarkan perasaan atau pesanan. Kalau tidak, itu penculikan dokumen!” kata Jems tegas.

Kondisi ini mengundang pertanyaan besar: Apakah Imigrasi Ambon dan Tual telah menjadi alat permainan kelompok tertentu demi meraup keuntungan? Dugaan praktik mafia keimigrasian pun menyeruak. Pembiaran terhadap dua WNA yang melanggar administrasi, dan kriminalisasi terhadap WNA yang patuh aturan, adalah potret ketidakbecusan penegakan hukum.

“Kita tidak butuh aparat yang bisa dibeli! Kalau benar ada uang bermain di balik ini, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran hukum, tapi penghianatan terhadap negara,” pungkas Jems.

Kini, publik menanti tindakan tegas dari aparat kepolisian, khususnya Polairud Polres Kepulauan Tanimbar, untuk membongkar keterkaitan jaringan ini secara terang-benderang. Apakah dua WNA itu bagian dari mafia sumber daya laut? Apakah aparat Imigrasi kita telah menjual kewenangannya demi segepok rupiah?

Pertanyaan-pertanyaan ini menggema di Tanimbar. Jawabannya akan menentukan apakah hukum masih berdiri tegak, atau telah tumbang oleh sogokan dan kepentingan. (KN-07)

Ikuti Kami di Channel Telegram untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM
Place Your Ad
Place Your Ad