Saumlaki, Kapatanews.com – Ketegangan memuncak di Balai Desa Rumahsalut, Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, saat tokoh adat Agustinus Wuritimur secara terbuka mengecam tindakan lima pemerintah desa Seira dan Camat Wermaktian yang diduga menguasai Pulau Yayaru secara sepihak.
Dalam forum resmi yang juga dihadiri camat dan aparat penegak hukum, Agustinus melontarkan peringatan keras: pengabaian hak adat bisa memicu pertumpahan darah.
Penguasaan sepihak atas Pulau Yayaru juga dikenal sebagai Pulau Pasir dilakukan oleh lima desa di wilayah Seira. Meskipun terdapat keputusan pengadilan yang menyatakan tidak ada marga yang menang atau kalah atas hak kepemilikan pulau tersebut, Pemerintah Desa Seira dikabarkan tetap mengelola dan memanfaatkan wilayah itu tanpa mempertimbangkan klaim sah Marga Wuritimur.
Tokoh yang melontarkan kecaman adalah Agustinus Wuritimur, perwakilan Marga Wuritimur yang merasa hak adat mereka diabaikan. Rapat ini dihadiri oleh lima kepala desa Seira, Camat Wermaktian, dan aparat penegak hukum. Agustinus tampil vokal dan emosional dalam menyampaikan ketidakpuasan atas pengelolaan wilayah adat tersebut.
Pernyataan meledak-ledak Agustinus disampaikan dalam forum resmi yang digelar di Balai Desa Weratan Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Pulau Yayaru sendiri terletak di sekitar wilayah pesisir Seira dan memiliki nilai strategis sebagai wilayah petuanan yang kaya hasil laut.
Konflik mengemuka pada 24 Mei 2025, saat rapat resmi digelar oleh Pemerintah Kecamatan Wermaktian bersama kepala desa dan masyarakat adat. Namun, sengketa soal penguasaan Pulau Yayaru telah berlangsung selama bertahun-tahun, dengan keputusan pengadilan sebelumnya yang tidak memihak satu marga pun.
Agustinus menilai tindakan lima kepala desa Seira melanggar prinsip keadilan adat dan hukum positif. Ia menegaskan bahwa penguasaan sepihak dapat menyulut konflik antar marga, bahkan berujung pada kekerasan fisik. Ia mengingatkan bahwa keputusan pengadilan tidak membenarkan satu pihak mengambil alih sepenuhnya wilayah tersebut, apalagi tanpa persetujuan dari marga lain yang juga memiliki hak adat.
Dalam pernyataannya, Agustinus menegaskan, “Jika pengabaian ini terus dilakukan, darah bisa tertumpah. Lima kepala desa Seira harus bertanggung jawab atas konflik yang mungkin terjadi.”
Dirinya mendesak agar Pemerintah Desa Seira Blawat menegakkan keputusan Bupati Kepulauan Tanimbar terkait pengelolaan wilayah petuanan dan penertiban nelayan luar. Ia meminta agar semua nelayan yang tidak memiliki izin adat segera dipulangkan guna mencegah konflik horizontal.
Ia juga mencontohkan, jika wilayah Petuanan Wuriaru yang disebut milik Kepala Desa Weratan diambil orang luar secara sepihak, tentu pihak pemilik tidak akan tinggal diam. Analogi ini digunakan untuk menggambarkan ketidakadilan yang dirasakan oleh Marga Wuritimur atas Pulau Yayaru.
“Saya tidak akan tinggal diam jika tanah leluhur kami dikuasai seenaknya. Kalau Petuanan Weratan diambil orang, apakah Kepala Desa Weratan akan diam?” ujar Agustinus dalam video berdurasi lima menit yang kini beredar.
Masyarakat adat Wuritimur mendukung penuh pernyataan Agustinus. Sementara itu, sejumlah warga Seira menyatakan kekhawatiran akan eskalasi konflik. Ketegangan di lapangan sudah mulai terlihat dengan munculnya kelompok pemuda yang saling berjaga di desa masing-masing. Ketakutan akan bentrokan terbuka di pesisir Seira menjadi nyata.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari kelima kepala desa Seira maupun dari Camat Wermaktian terkait tudingan dan ancaman konflik tersebut. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar didesak segera turun tangan menyelesaikan polemik ini sebelum berubah menjadi konflik terbuka yang mengancam stabilitas sosial. (KN-07)