Saumlaki, Kapatanews.com – Laut akhirnya bersuara. Setelah sekian lama diam membekap keluh nelayan, kini badai keadilan mulai menggulung. Tertanggal 28 Mei 2025, sebuah surat resmi dari Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku bernomor 500.5.6/1075/2025 menjadi palu godam yang memukul keras praktik ilegal penangkapan telur ikan terbang oleh kapal-kapal asing tak berizin di wilayah perairan Kepulauan Tanimbar.
Surat ini, yang menyatakan pelarangan penangkapan telur ikan bagi kapal tanpa dokumen resmi, datang bagai petir siang bolong membakar kesunyian dan kegelisahan yang selama ini dipendam masyarakat pesisir. Dan Alex Belay, suara lantang nelayan Tanimbar, tidak menyia-nyiakan momen ini.
“Ini bukan sekadar surat. Ini adalah darah dan air mata kami yang akhirnya dibalas oleh negara,” tegas Alex dengan mata berkaca. “Kami mengapresiasi setinggi langit langkah Bupati KKT dan Bung Andreas JW Taborat yang tidak gentar menyurati dan menghadapi para mafia laut ini.”
Belay juga berharap agar Kepala Dinas Perikanan Provinsi Maluku, menindaklanjuti surat tersebut dengan langkah tegas di lapangan.
“Dengan surat itu, saya berharap Lamusu segera menghentikan segala proses penangkapan telur ikan terbang, apapun bentuk dan modusnya. Jangan beri ruang lagi bagi kapal-kapal predator itu,” ujarnya lugas.
Surat itu bukan muncul dari ruang hampa. Di belakangnya ada desakan bertubi, perlawanan sunyi, dan diskusi panas di ruang-ruang dengar pendapat. Bung Andreas JW Taborat, satu-satunya wakil rakyat Tanimbar di DPRD Maluku, menyuarakan jeritan nelayan dalam RDP bersama Dinas Perikanan dan Kelautan. Ia menuntut satu hal: HENTIKAN perampokan telur ikan terbang oleh nelayan andon yang diduga kuat dikendalikan oleh pengusaha besar dengan bayang-bayang aparat.
Tangis Bahagia di Dermaga
Nelayan lokal menyambut kabar ini dengan doa dan air mata. Bagi mereka, laut bukan hanya ruang hidup, tapi juga pusaka warisan leluhur. Bertahun-tahun mereka menyaksikan kapal-kapal asing datang membawa rumpon raksasa, menyapu bersih telur-telur ikan sebelum sempat menetas.
Telur ikan itu adalah harapan yang dijarah demi kekayaan segelintir orang.
“Pucuk dicinta ulam pun tiba,” ujar Alex getir. “Ini langkah awal, tapi belum cukup. Kami ingin penghentian total. Bukan sementara.”
Surat yang terbit itu baru permulaan. Keputusan sementara ini, bagi sebagian masyarakat, masih terasa seperti janji yang menggantung. Sebab mereka sudah terlalu sering dikhianati oleh janji-janji pengawasan yang tak pernah nyata, oleh patroli yang seolah buta, dan oleh sistem yang tak pernah memihak.
Perairan Tanimbar: Ladang Emas yang Berdarah
Tak sedikit yang menyebut Laut Tanimbar kini seperti ladang emas bagi para predator laut. Dalam senyap, operasi penangkapan telur ikan diduga dikawal oleh pihak-pihak berseragam, yang entah karena bayaran atau kepentingan, menutup mata atas penjarahan yang terjadi.
“Kita menyaksikan sendiri bagaimana kapal-kapal besar itu berlalu lalang di malam hari. Tak ada yang berani menegur. Kami hanya bisa berdoa, berharap Tuhan masih menjaga laut kami,” ucap seorang nelayan tua dari Pulau Seira.
Dan memang benar, pengawasan laut selama ini lebih banyak bersifat formalitas. Ketika kapal patroli tiba, kapal andon seolah menghilang. Tapi saat malam turun, rakus kembali menggerogoti laut Tanimbar.
Politik dan Keberanian
Di tengah ketakutan ini, keberanian Bupati KKT yang menyurati Gubernur Maluku layak dicatat dengan tinta emas. Begitu pula dengan Andreas Taborat, yang melawan gelombang kepentingan dan melindungi apa yang seharusnya dilindungi oleh negara sejak lama.
Namun, keberanian mereka kini diuji. Surat sudah terbit, tetapi pelaksanaannya masih rapuh. Apakah kapal-kapal penghisap telur ikan itu benar-benar akan dihentikan? Ataukah mereka akan kembali, diam-diam, dengan dukungan tak kasat mata?
“Kami minta pemerintah jangan hanya berhenti di atas kertas. Kami butuh tindakan nyata. Butuh patroli siang malam. Butuh keberanian untuk mengusir kapal-kapal predator itu, apapun taruhannya,” tegas Alex Belay.
Harapan dalam Ancaman
Tanimbar menunggu. Menunggu apakah keputusan ini benar-benar akan mengubah keadaan, atau hanya akan menjadi drama pendek yang dilupakan.
Laut mereka telah cukup lama menangis. Telur-telur ikan yang lenyap tanpa sempat menjadi ikan, adalah simbol betapa rakusnya manusia ketika dibiarkan tanpa hukum. Kini saatnya menghentikan semua itu. Bukan hanya sementara. Tapi selamanya. (KN-07)