Saumlaki, Kapatanews.com – Di pesisir Tanimbar, ombak masih datang dan pergi seperti biasa. Tapi hari ini, laut membawa kabar busuk: ada seorang pria bernama Firman, yang berdiri di daratan Tanimbar sambil tersenyum, meski ia sendiri telah mengaku sebagai pendana dan pengatur operasi pencurian teripang secara ilegal di ZEE Australia.
Ia tidak menyangkal. Ia malah bangga. Ia menyebut itu sebagai “usaha miliknya yang sudah ditinggalkan.” Ia mengatur kapal-kapal menjarah laut milik Australia. Ia mengirim nelayan-nelayan kecil ke medan bahaya, sementara dirinya tetap aman di balik dinding perlindungan yang entah milik siapa.
Dan lebih menyeramkan lagi: setelah semua pengakuan itu keluar dari mulutnya sendiri, tidak ada satu pun tindakan hukum. Tidak ada penyitaan, tidak ada penyelidikan. Firman masih bebas. Masih tertawa. Masih bernapas dalam ruang hukum yang seharusnya sudah menelannya, namun ia kembali membuka Pembelian teripang di Namtabung.
Apakah Ini Negeri Tanpa Hukum?
Apa yang lebih menyeramkan daripada penjahat yang jujur? Penegak hukum yang pura-pura tuli.
Firman bukan nelayan lapar yang mencari sesuap nasi. Ia adalah otak dari kejahatan terorganisir lintas batas. Ia menjadikan nelayan kecil sebagai tameng hidup. Ia merancang pencurian demi pencurian, mengeruk laut negara lain, dan membiarkan rakyat kecil menanggung akibatnya.
Sementara nelayan yang dikirimnya hampir masuk penjara, Firman tetap duduk manis, mungkin sambil menyeduh kopi dan menghitung laba haramnya.
Apakah hukum kita hanya berlaku untuk yang miskin? Apakah keadilan sudah mati tenggelam di antara ombak yang membawa kapal-kapal curian?
Kitab Hukum Tak Berguna Jika Dibiarkan Berdebu
Mari kita lihat hukum yang katanya agung itu:
- UU No. 45/2009 tentang Perikanan, Pasal 94 Ayat (2): 6 tahun penjara dan denda Rp20 miliar bagi yang mencuri ikan di wilayah negara lain. Firman sudah mengaku.
- KUHP Pasal 55 Ayat (1): Yang menyuruh dan turut serta, ikut dipidana. Firman jelas menyuruh dan mengatur.
- UU No. 17/1985 tentang UNCLOS: Indonesia wajib menghormati hukum negara lain di ZEE mereka. Apakah negara pura-pura lupa?
Jika semua dasar hukum ini masih tidak cukup untuk menjerat Firman, lalu apa artinya semua itu? Apakah hukum hanya berlaku kalau pelakunya tak punya uang? Tak punya koneksi?
Pembiaran Ini Adalah Kejahatan Kedua
Saat negara diam, bukan hanya kejahatan pertama yang dibiarkan. Negara justru sedang menciptakan kejahatan kedua: pembiaran sistematis. Negara ikut bertanggung jawab atas setiap nelayan yang dikorbankan, setiap hasil laut yang dijarah, dan setiap janji keadilan yang diingkari.
Di bawah kendali Firman, kapal-kapal dikirim dengan bendera tak resmi. Mereka mencuri di laut orang lain, dan ketika tertangkap, para nelayan kecil dipukuli, ditahan, kapal mereka ditenggelamkan. Tidak ada pengacara. Tidak ada pembela. Mereka hanya angka dalam berita singkat.
Sementara itu, Firman tetap hilir mudik di pelabuhan. Tidak ada yang menyentuhnya. Mungkinkah karena dia dilindungi? Oleh siapa?
Redaksi Menuntut Keadilan yang Berdarah
Kami, Redaksi Media Kapata News untuk Keadilan dan Laut Berdaulat, menyatakan dengan tegas:
Kepada POLRI, KEJAKSAAN AGUNG, dan KKP:
- Segera tangkap Firman.
- Proses sebagai pelaku utama kejahatan perikanan lintas batas.
- Bongkar jaringan penadah, penyelundup, dan pelindung yang ada di belakangnya.
- Sampaikan hasilnya kepada publik karena rakyat berhak tahu siapa yang mengkhianati laut dan hukum.
Ini bukan permintaan biasa. Ini adalah seruan dari pantai-pantai yang dijarah. Ini adalah jeritan nelayan-nelayan yang telah dikorbankan. Dan ini adalah peringatan keras bahwa hukum tidak boleh hanya menjadi hantu di buku undang-undang.
Jika Firman tidak ditangkap, maka berarti hukum kita sudah mati.
Dan kalau hukum sudah mati, jangan salahkan rakyat jika kepercayaan mereka ikut dikubur bersama bangkai teripang hasil curian.
Karena di laut yang luas ini, yang paling menakutkan bukan badai. Tapi ketika kejahatan berlayar bebas, dan hukum tak lagi berani menyeberang. (KN-07)