Saumlaki, Kapatanews.com – Laut Seira, yang dikenal kaya akan sumber daya ikan, kini terancam oleh adanya ratusan kapal perikanan yang beroperasi tanpa izin lengkap. Dari 123 kapal yang terpantau bersiap beroperasi, hanya 14 kapal yang sah dan diakui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku.
Sisa 109 kapal tersebut, menurut DKP, berpotensi ilegal dan bisa mengancam keberlanjutan ekosistem laut serta merugikan nelayan lokal yang beroperasi secara sah.
Polemik soal legalitas kapal perikanan kembali memanas di perairan Seira. DKP Provinsi Maluku mengungkapkan, hanya sebagian kecil dari kapal yang berlabuh di perairan tersebut yang memiliki izin lengkap untuk menangkap ikan.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Maluku, Rusdi Makatita, S.Pi., M.Si., dengan tegas menyatakan bahwa dari 123 kapal yang terdeteksi, hanya 14 kapal yang memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), izin utama yang diperlukan untuk menangkap ikan secara sah.
“SIPI adalah syarat mutlak untuk bisa beroperasi. Kapal yang tidak memiliki SIPI bisa dikategorikan sebagai kapal ilegal,” ungkap Makatita dalam keterangan pers resmi. Menurutnya, kapal yang beroperasi tanpa SIPI jelas melanggar hukum dan merusak ekosistem laut.
Makatita menjelaskan perbedaan mendasar antara dua jenis izin yang sering disalahpahami masyarakat, yaitu Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan SIPI. SIUP hanya memberikan izin kepada pelaku usaha perikanan untuk menjalankan kegiatan bisnis, tetapi tidak cukup untuk menangkap ikan di laut. Sementara SIPI adalah izin operasional yang wajib dimiliki oleh setiap kapal yang beroperasi menangkap ikan di perairan laut.
“Setiap kapal yang memiliki SIPI, tentu sudah memiliki SIUP, tetapi kapal yang hanya memiliki SIUP saja, belum tentu sah beroperasi karena mereka belum diverifikasi untuk mendapatkan SIPI,” tegas Makatita. Ini berarti, banyak kapal yang beroperasi tanpa SIPI, meskipun mereka mungkin memiliki SIUP, yang membuat statusnya ilegal.
Penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan regulasi juga menjadi isu besar dalam pengawasan kapal di perairan Seira. Salah satu alat tangkap yang mendapat perhatian adalah bale-bale, jaring kecil yang diperbolehkan digunakan oleh kapal berukuran di bawah 30 GT dalam radius 12 mil laut. Namun, jika alat tangkap ini digunakan di luar wilayah yang ditentukan, maka alat tersebut bisa dikategorikan ilegal.
“Alat tangkap ini bisa saja digunakan untuk menangkap telur ikan, yang jelas dilarang. Kami tidak tahu pasti alat tangkap apa yang digunakan oleh kapal-kapal ilegal itu,” lanjut Makatita, menambahkan bahwa banyak kapal yang hanya mengklaim memiliki izin, tetapi sebenarnya menggunakan alat tangkap yang dilarang.
Kehadiran kapal-kapal ilegal ini mengancam keberlanjutan ekosistem laut Seira. Selain merusak sumber daya perikanan yang seharusnya dikelola dengan bijak, kapal-kapal ini juga mempengaruhi nelayan lokal yang berusaha mematuhi aturan dan menjaga kelestarian laut.
“Kapitalisasi perikanan ilegal ini bisa merusak ekosistem laut dan menghancurkan mata pencaharian nelayan lokal yang sah. Tanpa adanya pengawasan yang ketat, perairan ini bisa jadi zona abu-abu bagi kapal-kapal ilegal yang mengeruk sumber daya laut tanpa memperhatikan keberlanjutannya,” kata Makatita.
DKP Maluku mendesak agar pengawasan terhadap kapal-kapal yang beroperasi di perairan Seira diperketat. Pengawasan yang lebih ketat di lapangan diharapkan dapat mencegah kapal ilegal dan memastikan bahwa kapal yang beroperasi memiliki izin yang sah serta menggunakan alat tangkap yang sesuai aturan.
Selain itu, transparansi dalam pengelolaan data kapal perikanan juga menjadi sorotan. Makatita menegaskan bahwa tanpa verifikasi yang jelas terhadap izin dan alat tangkap, sulit untuk mengakui keberadaan kapal-kapal tersebut sebagai kapal legal.
Kasus ini juga menunjukkan betapa pentingnya peningkatan transparansi dalam pengelolaan laut dan sumber daya perikanan. Masyarakat, terutama nelayan lokal, berharap pemerintah segera bertindak tegas terhadap kapal-kapal yang beroperasi tanpa izin yang sah. Pengabaian terhadap isu ini hanya akan memperburuk situasi, merugikan nelayan yang sah, dan merusak kelestarian laut.
“Tanpa pengawasan dan transparansi yang jelas, kita akan terus berada di zona abu-abu. Semua kapal yang tidak memenuhi syarat harus diberhentikan operasinya,” tutup Makatita. (KN-07)