Saumlaki, Kapatanews.com – Fakta mengejutkan terungkap terkait keberadaan kapal-kapal penangkap ikan di perairan Tanimbar. Di tengah polemik perizinan, diketahui bahwa dari 14 kapal yang mengantongi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) resmi, sebagian besar justru beroperasi di Kepulauan Aru, bukan di perairan Tanimbar.
Data ini membuat DPRD Maluku meminta audit dan transparansi penuh dari Pemerintah Provinsi Maluku dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengingat ketidaksesuaian yang mencolok antara jumlah kapal dan izin yang dikeluarkan.
Suanthie Jhon Laipeny, Wakil Ketua Komisi II DPRD Maluku, mengungkapkan temuan baru yang membuktikan adanya 123 kapal yang beroperasi tanpa izin resmi di perairan Seira, Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
Temuan ini terungkap setelah informasi yang sebelumnya hanya menyebutkan 14 kapal yang terdaftar, kini ternyata tidak menggambarkan gambaran utuh tentang aktivitas perikanan di daerah tersebut.
“Kalau memang sudah ada 123 kapal berizin yang beroperasi di sini, kita perlu memastikan apakah mereka beroperasi di bawah 12 mil laut atau di luar itu. Itu penting karena menentukan siapa yang berhak mengeluarkan izin Provinsi atau Kementerian,” kata Laipeny kepada awak media, Selasa (10/6/2025) dari Kota Ambon.
Menurut Laipeny, permasalahan ini mencuat karena adanya dua jenis perizinan yang berbeda untuk kapal perikanan. Kapal dengan Gross Ton (GT) di bawah 30 dan beroperasi dalam 12 mil laut, berada dibawah kewenangan Pemerintah Provinsi. Sementara kapal dengan kapasitas di atas 30 GT atau yang beroperasi di luar 12 mil laut, menjadi wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ia menyebutkan, selama ini pemerintah provinsi Maluku hanya mengeluarkan 14 izin kapal resmi, yang sebagian besar beroperasi di wilayah Kepulauan Aru, dan sangat sedikit yang beroperasi di Tanimbar. Sementara itu, kapal-kapal yang beroperasi di luar kewenangan provinsi, yakni kapal di atas 30 GT atau yang beroperasi lebih dari 12 mil laut, tidak memiliki data yang jelas dan resmi.
“Sehingga untuk Tanimbar, semua kapal yang beroperasi di wilayah ini tanpa izin SIPI, dan dipastikan ilegal,” ungkap Laipeny dengan tegas.
Lebih lanjut, Laipeny menjelaskan bahwa beberapa pengusaha ikan di wilayah Tanimbar mulai mengurus izin di tingkat provinsi, mengindikasikan bahwa sebagian armada memang di bawah 30 GT. Namun, ia menegaskan belum ada data resmi yang diterima oleh DPRD terkait perkembangan terbaru izin kapal perikanan.
Ketidakjelasan data ini, menurut Laipeny, menimbulkan kekhawatiran bahwa perairan Tanimbar dapat dikuasai oleh kapal-kapal tanpa kejelasan izin, yang tentunya berdampak buruk pada pengelolaan sumber daya alam di daerah tersebut.
Ia pun menuntut agar Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku segera membuka data secara transparan, memperkuat sistem pengawasan, dan melibatkan masyarakat adat dalam pemantauan di lapangan.
DPRD Maluku juga mendesak agar sistem izin kapal lebih dipertegas untuk mencegah penyalahgunaan yang mengarah pada eksploitasi sumber daya laut yang tidak berpihak pada masyarakat lokal. Selain itu, sistem pengawasan yang lebih ketat dianggap krusial untuk melindungi lingkungan laut yang mulai terancam.
Krisis data dan masalah perizinan ini semakin parah karena kapal-kapal yang diduga beroperasi tanpa izin tidak hanya merugikan masyarakat lokal dari segi pendapatan, tetapi juga menambah beban bagi ekosistem laut yang sudah rapuh.
Bupati Kepulauan Tanimbar, bersama dengan DPRD Maluku, berencana mengevaluasi aturan pemberian izin penangkapan ikan, khususnya terkait dengan penangkapan telur ikan yang selama ini hanya diberlakukan setiap dua tahun sekali.
Komisi II DPRD Maluku juga menghimbau agar seluruh pengusaha perikanan dengan kapal di bawah 30 GT segera mengurus izin untuk menghindari kesan ilegal dan agar sektor perikanan bisa memberikan kontribusi lebih besar pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini penting agar tidak ada lagi penyalahgunaan izin yang bisa merugikan negara dan masyarakat.
Penting untuk diingat, masalah ketidaksesuaian data kapal perikanan ini merupakan peringatan bagi pengelolaan sumber daya laut yang lebih transparan dan berbasis data yang akurat. Pemerintah provinsi dan pusat harus segera mengambil tindakan agar Tanimbar tidak menjadi ladang eksploitasi yang merugikan masyarakat setempat.
“Jangan sampai kami menciptakan aturan yang membingungkan, yang membuka peluang bagi penyalahgunaan. Data yang jelas dan kebijakan yang tepat adalah dasar dari pengambilan keputusan,” tutup Laipeny dengan tegas. (KN-07)