Suara langkah kaki mereka selalu terdengar pagi buta, menggema di trotoar yang retak, menyusuri jalanan Saumlaki seolah tanah ini milik mereka. Bukan suara pembangunan. Bukan derap maju sebuah negeri. Tapi langkah kekuasaan sekelompok pria dan wanita bercelana olahraga, berkeringat bukan karena kerja keras, melainkan karena ambisi yang dipoles di balik senyum kopi pagi dan tawa basa-basi.
Di Tanimbar, mereka menyebut diri “Kelompok Jalan Pagi dan Jalan Sore.” Kedengarannya sehat dan santai, bukan? Tapi di balik itu, merekalah benalu dalam jantung pemerintahan. Merekalah tangan-tangan tak terlihat yang mengatur arah anggaran, menentukan siapa duduk di kursi mana, dan siapa yang harus dilengserkan karena tak ikut dalam ritus berjalan bersama mereka.
Kampung Kuliner: Tempat Kopi dan Konspirasi
Setiap pagi, mereka berkumpul di Kampung Kuliner bukan untuk menikmati aroma kopi, melainkan untuk meracik strategi. Di balik cangkir kopi pahit yang mereka teguk, ada pahitnya rencana licik yang menindas kepentingan rakyat kecil.
Kopi itu mungkin menghangatkan tubuh mereka, tapi telah membekukan nurani mereka. Mereka berpikir tajam bukan untuk menyusun kebijakan terbaik, melainkan untuk mengambil alih jabatan strategis. Setiap seruput kopi, satu nama ASN dihabisi dari daftar promosi. Setiap sedotan terakhir, satu proyek pembangunan dialihkan ke kroni.
“Mereka bukan pejabat, tapi mereka lebih kuasa dari pejabat. Bupati sekalipun tak bisa menolak bisikan mereka,” kata seorang ASN muda yang meminta identitasnya dirahasiakan. Suaranya gemetar, bukan karena takut kehilangan jabatan, tapi karena ia tahu: sistem ini sudah membusuk dari akar.
Topeng-Topeng Saat Pilkada
Yang lebih mengerikan, sebagian besar dari mereka dulunya ASN netral setidaknya secara formal. Tapi saat Pilkada, mereka mengenakan topeng: berpura-pura netral sambil menancapkan taringnya dalam-dalam ke kubu politik yang mereka pilih. Mereka bermain dua kaki di lapangan birokrasi dan arena politik praktis. Setelah kemenangan diraih, topeng itu dibuka. Wajah mereka terpampang jelas di balik “Komunitas Jalan Pagi dan Jalan Sore.”
Komunitas itu kini seolah jadi “lembaga bayangan” di balik SK pengangkatan, rotasi jabatan, dan proyek pengadaan. Mereka tak punya legalitas, tapi punya kekuasaan. Mereka tak disumpah jabatan, tapi bisa menjatuhkan siapa saja yang dianggap “tidak sejalan.”
“Kalau kamu bukan bagian dari mereka, jangan harap naik jabatan. Bahkan untuk naik golongan pun bisa tertunda tanpa alasan,” ujar seorang pejabat eselon III yang merasa dikucilkan setelah tak ikut jalan pagi beberapa bulan.
Rakyat Terpinggirkan, Dana Terserap ke Jaringan
Uang rakyat? Tak lagi mengalir ke pembangunan sekolah, jalan desa, atau fasilitas kesehatan. Anggaran terserap ke dalam jaringan mereka proyek dikondisikan, tender diarahkan, dan laporan pertanggungjawaban pun disulap agar mulus di mata auditor.
Lebih tragis lagi, suara rakyat dianggap sekadar deru angin laut yang lewat begitu saja. Keluhan nelayan, tangisan petani, jeritan ibu hamil di desa terpencil karena Puskesmas kosong tenaga medis semua tak terdengar di meja rapat “komunitas” ini.
Tanah Pernah Berpikir, Kini Diinjak Sepatu Ambisi
Tanimbar, negeri indah di timur Indonesia, dulu dikenal dengan masyarakatnya yang arif, bersahaja, dan penuh pemikiran luhur. Namun kini, tanah itu diinjak sepatu-sepatu ambisi. Mereka melangkah tanpa rasa, menyusun kebijakan tanpa visi.
Mereka, kelompok jalan pagi dan sore itu, telah membunuh satu hal paling berharga dari pemerintahan: rasa malu. Mereka tak malu memamerkan kuasa, tak malu mengatur jabatan, tak malu menjadikan birokrasi sebagai ladang kuasa dan balas budi.
Sementara rakyat menunggu keadilan, mereka sibuk memilih menu makan siang.
Tanyalah Diri: Siapa yang Sebenarnya Berkuasa di Tanimbar?
Apakah kita masih percaya bahwa Bupati, Sekda, atau Kepala Dinas yang memimpin? Atau sebenarnya mereka semua hanyalah bayang-bayang dari kelompok yang berjalan santai di pagi dan sore hari, sambil menyeruput pahitnya kopi dan lebih pahitnya kekuasaan?
Waktu akan membongkar semuanya. Tapi bila rakyat diam, sejarah akan mencatat: Tanimbar bukan jatuh karena perang, bukan karena gempa, tapi karena konspirasi di balik tawa kopi dan sepatu olahraga. (KN-07)