Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
BeritaEkonomiKepulauan TanimbarKesehatanOpiniPemerintahan

100 Hari Kerja RJ-JR di Tanimbar Gatotkaca: Kesehatan Terpuruk, Ekonomi Tercekik

×

100 Hari Kerja RJ-JR di Tanimbar Gatotkaca: Kesehatan Terpuruk, Ekonomi Tercekik

Sebarkan artikel ini

Penulis: Nik Besitimur – Jurnalis Kapata News

Seratus hari kerja pemerintahan Bupati Ricky Jauwerissa dan Wakil Bupati dr. Julyana C. Ratuanak yang disebut-sebut sebagai pasangan “BERSATU”. Gagal total kacau balau oleh para pengamat dan aktivis. Namun alih-alih melambung membawa perubahan, mereka justru tersangkut di lumpur harapan masyarakat yang semakin dalam dan kelam.

Scroll Keatas
Example 300x450
Scroll Kebawah

Alih-alih membalikkan keadaan, kepemimpinan RJ–JR justru menunjukkan gejala awal dari stagnasi sistemik. Apa yang dijanjikan sebagai awal “Tanimbar Maju” kini berubah menjadi panggung kekecewaan yang menyayat nurani warga. Di mana janji perubahan? Di mana aksi konkret untuk rakyat?

Kesehatan dalam Krisis: Saat Dokter Menjadi Wakil, Tapi Rakyat Tetap Sakit

Tak bisa dipungkiri, sektor kesehatan menjadi potret paling buram dari pemerintahan baru ini. Ironisnya, seorang dokter duduk sebagai wakil kepala daerah, namun justru krisis layanan kesehatan merajalela.

Data dan pengakuan masyarakat dari kecamatan-kecamatan terpencil seperti Molu Maru, Selaru, hingga Wuarlabobar menggambarkan realitas yang nyaring: tenaga medis tak cukup, stok obat kosong, dan fasilitas kesehatan hanya hidup dari nama. Sistem rujukan? Tak lebih dari teka-teki birokrasi yang membuat pasien sekarat menunggu.

“Kami pikir karena wakil bupati itu dokter, pelayanan kesehatan akan lebih baik. Tapi sekarang, makin buruk. Dokter tidak ada, obat tidak ada, bahkan ambulans pun jarang kelihatan,” ungkap Rahanwaty, seorang warga, dengan nada getir.

Lebih ironis, hingga hari ini tidak ada laporan publikasi anggaran 100 hari sektor kesehatan. Transparansi dan akuntabilitas, dua prinsip dasar tata kelola pemerintahan, justru menghilang dalam kabut pencitraan.

RT Rp200–300 Juta: Uang Diam-diam, Proyek Sembarangan

Diumumkan dengan penuh gegap gempita sebagai “revolusi pelayanan masyarakat”, program dana RT Rp200–300 juta justru menjadi penanda betapa dangkalnya imajinasi kebijakan Pemda dalam membangun ekonomi kerakyatan.

Program ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai proyek tambal sulam, yang lebih mirip pengobatan gejala daripada penyembuhan penyakit struktural. Bukannya memperkuat fondasi ekonomi rakyat, dana ini malah dijadikan alat politik yang dibagi secara tidak merata dan minim pengawasan.

“Pemerintah sedang membeli loyalitas, bukan membangun kemandirian. Mereka membagi uang seperti menabur garam di padang pasir,” kata Hendrik, tokoh pemuda di Seira.

Apakah ini pembangunan? Atau justru jebakan populisme yang menjadikan masyarakat objek pasif dari uang negara, tanpa arah pemberdayaan yang jelas?

Pariwisata: Retorika Terbang, Realita Terjungkal

Bupati menyambangi Belanda dan Australia, membawa narasi pariwisata ke forum-forum luar negeri. Tapi di kampung halamannya sendiri, akses ke Pantai Weluan, Pulau Seira, dan situs budaya Sangliat Dol tetap buruk, tanpa infrastruktur, tanpa pembinaan.

Alih-alih membangun sektor pariwisata dari akar, pemerintah sibuk membangun citra. Padahal para pelaku wisata lokal pemandu, pemilik homestay, pengrajin masih berjuang sendiri. Tak ada pelatihan, tak ada promosi yang menyentuh mereka.

“Kami lihat banyak baliho dan berita, tapi tidak ada langkah nyata. Kami ini pelaku di lapangan, bukan penonton di media,” kata seorang tokoh adat yang meminta namanya disembunyikan.

Ketimpangan antara narasi dan realitas ini hanya memperkuat kesan bahwa RJ–JR lebih suka menari di panggung dunia maya daripada menapak tanah Tanimbar dengan kerja konkret.

Simbolisme Kosong dan Perlawanan Sunyi

Di tengah kekecewaan ini, suara masyarakat mulai membentuk perlawanan. Aksi simbolik bertajuk “Pengadilan Rakyat” dilaksanakan oleh aktivis dan masyarakat sipil sebagai protes terhadap kegagalan 100 hari pertama pemerintahan.

Poster “Tanimbar Maju” yang terpampang di baliho-baliho besar kini terasa sinis dan kosong, karena realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya: rakyat masih harus merogoh kocek dalam untuk berobat, anak-anak sulit mengakses pendidikan layak, dan lapangan kerja nyaris tak bertambah.

Pemerintah daerah tampaknya lebih sibuk mengatur pencitraan digital ketimbang mendengarkan denyut nadi rakyat.

Rakyat Butuh Bukti, Bukan Basa-basi

Dalam demokrasi, janji adalah kontrak moral. Dan ketika janji itu dilanggar, rakyat berhak menagih. Seratus hari bukan waktu panjang, tapi cukup untuk mengirim sinyal ke publik: apakah pemerintahan ini punya arah, atau hanya sekadar pelancong kekuasaan?

Saat rakyat mulai kecewa, dan kritik dianggap angin lalu, maka kegagalan bukan lagi kemungkinan melainkan kenyataan yang menunggu meledak.

RJ–JR harus sadar, bahwa rakyat Tanimbar bukan penonton yang mudah dibuai. Mereka butuh bukti, bukan basa-basi. Butuh tindakan nyata, bukan spanduk besar dan pidato panjang.

Jika dalam 100 hari awal ini saja kegagalan sudah terasa begitu nyata, pertanyaannya kini bukan lagi “apa yang akan mereka bangun?”, tapi: masihkah mereka layak dipercaya untuk membangun?

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad