Oleh: Fransiska Natalia Ralahallo
Kepala Divisi Pendidikan, Pelatihan dan Publikasi Ilmiah Institute for Development of Economic and Public Policy (INDEPP)/Dosen FEB Universitas Pattimura
Dalam dinamika hubungan internasional modern, konsep Sister City (Eisenhower, 1958) telah menjadi jembatan kolaboratif yang menjanjikan antara kota-kota di berbagai belahan dunia. Salah satu kemitraan yang menarik perhatian adalah hubungan Sister City antara Kota Ambon, Indonesia, dan Darwin City, Australia. Namun, dibalik kemitraan ini, muncul pertanyaan reflektif: mengapa setelah lebih dari dua dekade menjalin hubungan ini, Ambon belum mampu mengejar transformasi menjadi Smart City seperti Darwin?
Sejarah Awal: Diplomasi dari Akar Budaya
Hubungan Sister City antara Ambon dan Darwin tidak dibangun dalam ruang hampa. Keduanya memiliki sejarah panjang interaksi kultural dan geografis. Sejak masa kolonial, migrasi masyarakat Maluku ke Australia Utara, khususnya komunitas nelayan dan pelaut, telah menciptakan kedekatan emosional dan budaya antara kedua kawasan. Pemerintah Darwin dan Ambon secara resmi menetapkan status Sister City pada 1989, dengan semangat memperkuat hubungan budaya, pendidikan, dan perdagangan. Kemitraan ini diharapkan menjadi platform pertukaran pelajar, promosi budaya, hingga kerja sama pembangunan ekonomi yang saling menguntungkan. Sayangnya, setelah lebih dari tiga dekade, simbiosis yang diimpikan belum sepenuhnya terwujud dalam transformasi nyata di Ambon.
Kesamaan Geografis dan Potensi Maritim
Secara geografis, Ambon dan Darwin sama-sama merupakan kota pesisir yang memiliki keunggulan strategis di beberapa sektor, karena keduanya berada di kawasan tropis. Dalam konteks geopolitik, Ambon merupakan pintu gerbang Indonesia Timur, sementara Darwin adalah gerbang utara Australia menuju Asia. Keduanya juga memiliki masyarakat multikultural yang dinamis, dengan warisan budaya yang kuat. Ini adalah aset yang jika dikembangkan dengan pendekatan place-based innovation (Morisson & Doussineau, 2019) dapat menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi lokal berbasis identitas.
Perbedaan: Infrastruktur, Tata Kelola, dan Ekosistem Inovasi
Namun, kesamaan itu hanya satu sisi koin. Di sisi lain, perbedaan yang mencolok justru terletak pada tiga pilar utama pembangunan kota modern: infrastruktur, tata kelola, dan ekosistem inovasi (Ahad et al, 2020). Darwin telah lama menerapkan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berbasis data, sistem informasi geografis (GIS), serta teknologi sensor untuk pengelolaan air, transportasi, dan layanan publik. Pemerintah kota Darwin juga aktif mendorong civic tech dan open innovation yang melibatkan komunitas dalam proses perencanaan kota.
Sementara itu, Ambon masih bergulat dengan tantangan dasar, antara lain konektivitas internet yang belum merata, sistem transportasi publik yang minim, serta inefisiensi dalam tata kelola perkotaan. Masalah struktural seperti kurangnya kapasitas SDM, rendahnya integrasi teknologi dalam birokrasi, dan minimnya dukungan terhadap startup lokal memperlebar kesenjangan antara potensi dan kenyataan.
Mengapa Ambon Belum Menjadi Smart City?
Defisit inovasi kebijakan menjadi salah satu faktor utama yang menghambat transformasi Ambon menjadi Smart City. Pembangunan kota cerdas bukan hanya soal teknologi, tetapi bagaimana teknologi diterjemahkan dalam kebijakan yang inklusif, adaptif, dan berbasis data. Tanpa keberanian untuk melakukan reformasi tata kelola dan membuka ruang partisipasi warga, teknologi hanya akan menjadi ornamen tanpa makna.
Ketergantungan pada proyek jangka pendek juga menjadi kendala. Banyak program pengembangan di Ambon yang bersifat proyek-oriented dan tidak terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka panjang. Pendekatan ini membuat inovasi tidak berkelanjutan dan lemah dalam membangun ekosistem digital.
Lemahnya kolaborasi global yang produktif turut memperlambat transformasi kota. Hubungan dengan Darwin seharusnya menjadi katalis inovasi. Namun, kolaborasi yang selama ini lebih bersifat seremonial perlu ditransformasi menjadi kerja sama konkret: misalnya, program digital twinning, pelatihan smart governance, atau inkubasi tech start-up lintas negara.
Menuju Kolaborasi Masa Depan
Jika ingin menyongsong masa depan sebagai kota cerdas, Ambon perlu melihat hubungan dengan Darwin bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai laboratorium inovasi lintas batas. Darwin telah memanfaatkan sister city sebagai strategi diplomasi kota untuk menarik investasi, SDM global, dan proyek riset internasional.
Ambon pun bisa melakukan hal yang sama, dengan catatan: keberanian untuk berubah harus datang dari dalam. Transformasi Ambon menjadi Smart City bukan sekadar mungkin, ini adalah sebuah keniscayaan jika dikerjakan dengan visi, kolaborasi, dan komitmen jangka panjang. Dan dalam dunia yang semakin terkoneksi, kekuatan inovasi global justru lahir dari simpul-simpul lokal yang tahu arah dan identitasnya.