Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Opini

Larvul Ngabal: Antara Warisan Leluhur dan Realitas yang Terpinggirkan

×

Larvul Ngabal: Antara Warisan Leluhur dan Realitas yang Terpinggirkan

Sebarkan artikel ini
Larvul Ngabal: Antara Warisan Leluhur dan Realitas yang Terpinggirkan.

Oleh: Vigel Faubun, Pemerhati Budaya Maluku

Hukum adat Larvul Ngabal telah lama menjadi pedoman utama masyarakat Kei dalam menjaga tatanan sosial dan nilai-nilai kehidupan. Sebelum hukum negara hadir, Larvul Ngabal telah mengatur segala aspek kehidupan, mulai dari hubungan sosial, penyelesaian konflik, hingga menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Namun, seiring berjalannya waktu, hukum adat yang seharusnya menjadi roh kehidupan masyarakat Kei kini perlahan terpinggirkan.

Fenomena ini semakin terlihat dalam berbagai konflik yang terjadi di Tanah Kei. Alih-alih mengacu pada hukum adat yang telah menjaga kedamaian selama ratusan tahun, penyelesaian masalah kini lebih banyak mengandalkan hukum negara. Sayangnya, hal ini tidak selalu berujung pada penyelesaian yang mencerminkan kearifan lokal. Pertanyaannya, apakah Larvul Ngabal masih menjadi hukum yang hidup, atau kini hanya menjadi saksi bisu dalam pergolakan sosial masyarakat Kei?

Hukum Adat yang Kian Terlupakan

Hukum Larvul Ngabal bukan sekadar aturan tertulis atau mantra dalam upacara adat, tetapi sebuah sistem hukum yang sakral dan dihormati sejak dulu. Namun kini, hukum ini seolah kehilangan wibawa. Konflik yang terjadi di Kei jarang diselesaikan dengan pendekatan adat. Para pemangku adat dan pemerintah daerah seakan lebih memilih jalan hukum negara, padahal Larvul Ngabal telah terbukti mampu menjaga keseimbangan sosial di masa lalu.

Lebih menyedihkan lagi, adat kini kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan pribadi. Ada yang menjadikannya alat untuk menakuti, mencari keuntungan, bahkan meraih jabatan. Hukum adat yang seharusnya menjadi perekat sosial kini justru dimanipulasi demi kepentingan tertentu.

Pergeseran nilai ini diperparah dengan ketidaktegasan pemimpin adat dan pemerintah daerah dalam menegakkan Larvul Ngabal. Ketika hukum adat tidak lagi dijadikan dasar dalam penyelesaian konflik, maka nilai-nilai Ain Ni Ain (kita satu saudara) mulai terkikis.

PR Besar untuk Pemerintah dan Pemangku Adat

Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan budaya, kita harus bertanya:

  1. Mengapa hukum adat tidak lagi dijadikan pedoman utama dalam menyelesaikan konflik?
  2. Apakah para pemimpin adat telah melupakan hukum Nev Nev, Hanalit, dan Hawear Balwarin yang menjadi bagian dari Sa Sa Sor Fit?
  3. Jika adat masih dijunjung tinggi, mengapa penyelesaian masalah lebih banyak mengandalkan hukum negara daripada hukum yang telah diwariskan oleh leluhur?

Jika pemangku adat dan pemerintah tidak segera bertindak untuk mengembalikan Larvul Ngabal ke porsi yang seharusnya, maka kehancuran nilai-nilai adat di Tanah Kei hanya tinggal menunggu waktu.

Usulan: Panas Adat untuk Mengembalikan Wibawa Larvul Ngabal

Sebagai bentuk solusi nyata, perlu dilakukan sebuah acara adat besar-besaran seperti Panas Adat yang bertujuan untuk mengunci Tanah Kei dari berbagai pengaruh negatif serta membersihkan masyarakat dari dendam dan kebencian. Acara ini tidak boleh sekadar menjadi seremoni belaka, tetapi harus menjadi momentum sakral untuk mengingatkan kembali bahwa Larvul Ngabal adalah hukum yang harus ditegakkan.

Kei tidak boleh menjadi tanah yang dipenuhi perpecahan dan kepentingan pribadi. Kei harus kembali menjadi tanah beradat, di mana nilai Ain Ni Ain benar-benar diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar slogan.

Refleksi untuk Kei yang Lebih Baik

Sebagai orang Kei, kita harus ingat bahwa adat bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi bagian dari identitas kita. Jika kita membiarkan hukum Larvul Ngabal terus terpinggirkan, maka kita sendiri yang menghancurkan warisan leluhur kita.

Saatnya kita bersatu, mengembalikan marwah hukum adat sebagai pedoman hidup, bukan sekadar kenangan masa lalu. Kei bukan tanah yang diwariskan untuk dihancurkan oleh kepentingan segelintir orang, tetapi tanah yang harus kita jaga dengan segenap hati.

Sebagaimana filosofi yang selalu kita pegang teguh:
“Mati jasad tanam di bumi, harga diri tanam di bulan.”

Semoga Kei kembali menjadi tanah yang diberkati, bukan tanah yang berduka. (*)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad