Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Opini

Romantisisme Sejarah dan Kebuntuan Pemekaran Kota Kepulauan Lease

×

Romantisisme Sejarah dan Kebuntuan Pemekaran Kota Kepulauan Lease

Sebarkan artikel ini
Example 300x450

Oleh: Alvin. C. Tetelepta,S.Pd

Ambon,Kapatanews.com – Kabupaten Maluku Tengah berdiri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1952 jo. PP Nomor 3 Tahun 1953, menjadikannya salah satu kabupaten tertua di Provinsi Maluku. Selama lebih dari tujuh dekade, daerah ini telah melahirkan sejumlah daerah otonom baru, sebuah proses yang menandai dinamika pembangunan berbasis desentralisasi.

Scroll Keatas
Example 300x450
Scroll Kebawah

Namun, di tengah capaian itu, Pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut, dan Molana) masih berada dalam lingkaran ketertinggalan struktural, meskipun secara historis, kultural, dan sumber daya manusia, Lease adalah salah satu pusat lahirnya intelektualitas dan pergerakan nasional di Maluku.

Gagasan pemekaran Kota Kepulauan Lease lahir dari kesadaran atas ketimpangan pembangunan dan jauhnya rentang kendali pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah terhadap daerah-daerah pulau kecil. Dari perspektif tata kelola pemerintahan, geografi kepulauan adalah alasan fundamental bagi lahirnya otonomi baru sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945 dan dijabarkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, perjuangan yang telah berlangsung sejak awal 2000-an hingga kini justru memperlihatkan stagnasi gerakan, lemahnya legitimasi sosial, serta buruknya komunikasi politik tim pemekaran dengan masyarakat dan lembaga pemerintahan. Di titik inilah kajian ini menempatkan kritik tajam terhadap Tim Konsorsium Pemekaran Kota Kepulauan Lease yang dinilai gagal memainkan peran strategis sebagai motor aspirasi rakyat Lease.

 

A. Aspek Yuridis dan Administratif

Secara hukum, gagasan pembentukan Daerah Persiapan Kota Kepulauan Lease memiliki dasar yang kuat. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, Lease telah memenuhi beberapa syarat utama:

– Terdiri dari empat kecamatan dengan batas usia administratif lebih dari 5 tahun.
– Kabupaten induk (Maluku Tengah) telah berusia jauh di atas 7 tahun.
– Dukungan sosial dan historis telah terbangun sejak studi kelayakan tahun 2000 oleh Pemerintah Provinsi Maluku.

 

Namun, hingga kini dua syarat fundamental belum terpenuhi:

1. Penetapan batas wilayah resmi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
2. Keputusan bersama antara Bupati dan DPRD Maluku Tengah terkait persetujuan pemekaran.

Fakta ini menunjukkan bahwa perjuangan yang sudah hampir dua dekade ternyata gagal menembus lapisan administratif paling mendasar, menandakan lemahnya strategi politik dan advokasi hukum dari Tim Konsorsium.

 

B. Aspek Sosial-Ekonomi dan HAM

Pemekaran Lease sejatinya adalah agenda keadilan sosial. Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), pemekaran menjadi wujud konkret dari:

– Hak masyarakat untuk memperoleh akses pelayanan publik yang adil.
– Pemenuhan hak atas pembangunan dan kesejahteraan.
– Prinsip non-diskriminasi dan partisipasi aktif warga negara dalam tata kelola pemerintahan.

Sayangnya, pendekatan HAM ini hanya berhenti pada tataran retorika dokumen tanpa strategi implementatif yang berakar pada kesadaran publik. Dalam praktiknya, rakyat Lease masih menjadi penonton dari perjuangan yang mengatasnamakan mereka.

 

a. Elitisasi dan Krisis Legitimasi Publik

Pada fase awal pembentukannya (2006–2010), Tim Konsorsium Pemekaran Kota Kepulauan Lease sebenarnya telah melibatkan berbagai unsur masyarakat tokoh adat, pemuda, perempuan, akademisi, dan birokrat sebagai wujud semangat kolektif dalam memperjuangkan pemekaran. Namun, dalam perkembangannya hingga tahun 2025, semangat inklusivitas itu tampak memudar. Struktur tim kini cenderung tertutup dan tidak lagi mencerminkan keberagaman sosial masyarakat Kepulauan Lease. Proses pengambilan keputusan yang semula partisipatif berubah menjadi sentralistik dan terbatas pada segelintir aktor yang mengklaim legitimasi atas “nama perjuangan”.

Kondisi ini memunculkan tanda-tanda krisis legitimasi publik, karena perjuangan pemekaran kehilangan daya dukung sosial yang kuat di akar rumput. Banyak pihak, termasuk pemuda, akademisi, dan masyarakat sipil, menilai bahwa arah perjuangan sudah tidak lagi merepresentasikan aspirasi kolektif. Untuk memulihkan kepercayaan publik dan memperkuat posisi advokasi, Tim Konsorsium perlu melakukan revisi menyeluruh terhadap struktur, pola kerja, dan mekanisme pelibatan masyarakat. Revisi tersebut harus dibahas secara terbuka dan partisipatif melalui forum-forum diskusi bersama, agar gerakan pemekaran benar-benar menjadi ruang kolaboratif yang hidup, bukan sekadar warisan simbolik masa lalu.

 

b. Stagnasi Strategi Politik dan Kegagalan Diplomasi Daerah

Kronologi perjuangan menunjukkan bahwa sejak 2010 hingga 2015, Konsorsium telah beberapa kali mengirim surat resmi kepada Bupati dan DPRD Maluku Tengah, namun tidak mendapat respons. Fakta bahwa surat-surat itu tidak direspons selama bertahun-tahun mencerminkan ketidakmampuan tim melakukan lobi politik yang efektif dan beretika.
Alih-alih memperkuat diplomasi antar-lembaga, tim justru tenggelam dalam romantisme sejarah perjuangan, tanpa arah strategi politik yang adaptif dengan regulasi baru.

Lebih buruk lagi, setelah penetapan UU No. 23 Tahun 2014 yang mensyaratkan tahapan Daerah Persiapan, tim tidak melakukan reposisi strategi hukum dan teknokratis sesuai dengan paradigma baru tersebut.

 

c. Kegagalan dalam Komunikasi Publik dan Transparansi

Sampai hari ini, masyarakat Lease tidak pernah mendapatkan laporan publik resmi tentang capaian, hambatan, dan peta jalan perjuangan pemekaran. Tidak ada publikasi terbuka, website, forum konsultasi publik, atau laporan keuangan perjuangan.
Kondisi ini menciptakan persepsi negatif bahwa perjuangan pemekaran telah terkonsentrasi pada segelintir figur, bukan menjadi gerakan kolektif rakyat Lease.

Sikap tertutup ini bertentangan dengan prinsip good governance yang mereka sendiri klaim sebagai dasar perjuangan.

Secara konseptual, pemekaran wilayah bukan sekadar proyek administratif, tetapi bagian dari proses rekonstruksi identitas politik dan sosial masyarakat lokal. Lease memiliki keunikan sejarah yang menjadikannya layak menjadi daerah otonom, namun tanpa kepemimpinan moral dan kolaboratif, perjuangan ini akan terus mandek.

 

Dibutuhkan reformasi internal gerakan pemekaran, antara lain:

– Pembentukan Forum Partisipatif Rakyat Lease yang melibatkan pemuda, akademisi, perempuan, dan tokoh adat.
– Audit moral dan transparansi terhadap struktur dan keuangan Tim Konsorsium.
– Penyusunan dokumen akademik baru (Naskah Akademik dan Kajian Teknis) yang sesuai dengan regulasi terkini.
– Pendekatan politik advokasi terukur ke DPRD, Bupati, dan Kementerian Dalam Negeri melalui kanal resmi, bukan sekadar simbolik.

Perjuangan pemekaran Kota Kepulauan Lease sejatinya adalah perjuangan menegakkan keadilan spasial dan sosial bagi masyarakat pulau-pulau kecil. Namun, setelah hampir dua dekade, perjuangan ini berubah menjadi ritual administratif tanpa arah, akibat:

– Kepemimpinan gerakan yang tertutup dan tidak transparan.
– Strategi politik yang ketinggalan zaman.
– Hilangnya semangat partisipasi rakyat dan generasi muda.

Jika kondisi ini tidak dibenahi, maka perjuangan Lease hanya akan menjadi sejarah yang terus diulang tanpa hasil. Tim Konsorsium perlu dikritik keras karena telah gagal memimpin gerakan ini secara visioner dan akuntabel.

Sudah saatnya rakyat Lease terutama generasi muda mengambil alih tongkat sejarah ini, membangun gerakan pemekaran yang baru lebih ilmiah, partisipatif, transparan, dan berakar pada kepentingan masyarakat, bukan pada ambisi personal (KN-05)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad