Perhelatan Pilkada serentak telah usai dan para kepala daerah terpilihpun kini telah bekerja. Kita berharap kepemimpinan Hendrik Lewerissa-Abdullah Vanath selama lima tahun ini akan membawa perubahan signifikan bagi Maluku yang hari-hari ini masih tertinggal dari kebanyakan daerah lainnya di Indonesia. Harapan ini begitu kuat, mengingat lima tahun terakhir Maluku dipimpin oleh orang bahkan tidak memahami akan tata kelola pemerintahan yang baik, orang yang tidak paham akan pentingnya memenuhi janji politik. Publik Maluku akhirnya membuat pilihan rasional dengan menghukum politisi dan kepemimpinan daerah yang nirprestasi dan tidak mampu memenuhi janji-janji politiknya dengan tidak memilihnya. Sebaliknya, publik justru memilih pemimpin baru yang lebih visioner dan ramah. Karena itu, sebagaimana hukum kepemimpinan itu sendiri, Hendrik Lewerissa-Abdullah Vanath (selama Pilkada dikenal dengan akronim Lawamena), seyogyanya bekerja keras dengan dukungan semua pihak, memajukan daerah seribu pulau ini secepatnya dengan metodologi yang terukur dan partisipatif. Artikel pendek ini hendak mengusulkan beberapa agenda daerah yang sekiranya dapat dijadikan referensi bagi pengembangan ekonomi daerah.
Pertama, kondisi perekonomian nasional saat ini sedang lesu. Pada saat yang sama, masih kuatnya ketergantungan perekonomian daerah terhadap penganggaran pembangunan dari pusat (APBN). Dulu, keberhasilan menaikan dana transfer ke daerah akan dianggap sebagai keberhasilan dan prestasi. Tetapi saat ini, hal itu terkendala mengingat pemerintahan Murad Ismail-Barnabas Orno telah mewarisi hutang PT. SMI yang besarnya tidak main-main, Rp. 700 miliar. Warisan ini telah membebani postur APBD Maluku yang setiap tahunnya harus menyisihkan Rp. 137 miliar untuk membayarnya. Di saat yang bersamaan, pendapatan asli daerah (PAD), meski terdapat kenaikan, cenderung landai dan tidak proporsional disbanding pembiayaan daerah. Ini mengakibatkan kondisi fiskal Maluku tidak mandiri. Kemandirian fiscal daerah dicerminkan oleh besarnya kontribusi PAD bukan pada dana perimbangan. Status fiscal kemandirian daerah yang tidak mandiri sangat beresiko dan rentan terhadap gejolak perekonomian nasional dan global sesedikit apapaun gejolak itu. Secara praktis dapat diutarakan bahwa jika APBN kita masih tertekan, maka pemerintah pusat masih tetap akan meneruskan kebijakan efisiensinya. Situasi ini akan memaksa Pemerintah Daerah Maluku dibawah kepemimpinan Hendrik Lewerissa-Abdullah Vanath untuk menempuh strategi efisiensi yang sama. Bagi daerah dengan ruang fiskal terbatas seperti Maluku, kebijakan ini akan lebih terasa sebagai pukulan. Karena itu, kebijakan pengetatan anggaran harus benar-benar ditempuh seperti, mengurangi perjalanan dinas baik luar provinsi maupun dalam provinsi, dan mengevaluasi kembali program yang tidak terkait langsung dengan pengentasan kemiskinan dan pembukaan lapangan kerja baru. Kedua, Pemerintah Daerah yang baru harus mengambil langkah drastis dan segera untuk melakukan perombakan struktur birokrasi Pemerintahan Daerah. Ini diperlukan sejalan dengan kebijakan efisiensi yang sedang berlangsung. Perombakan struktur birokrasi ini tidak saja penting untuk menempatkan personil ASN berdasarkan merit sistem, tetapi juga untuk menyesuaikan dengan capaian visi-misi Kepala Daerah baru. Bagaimanapun, struktur birokrasi yang ada saat ini adalah warisan kepala pemerintahan daerah yang lama, dan itu pasti tidak akan compatible dengan visi, misi dan program kepala daerah yang baru. Selain itu, perombakan birokrasi ini harus diikuti dengan reorganisasi badan dan lembaga dalam lingkup Pemda Maluku guna mencapai target efisiensi yang dimaksud. Selain itu, wajah birokrasi kita yang selama ini dikenal tidak ‘friendly’ dengan investor harus didesain ulang agar sistem dan tata kelolanya tidak menghambat arus masuk investasi swasta. Ketiga, selama ini pendekatan perencanaan pembangunan tidak tepat dari pemerintah pusat terhadap Maluku sebagai provinsi berciri kepulauan. Akibatnya, beberapa indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa umumnya provinsi kepulauan memang masih tertinggal (Nur Kholis, tempo.co, 2022). Antara lain; jumlah penduduk di delapan provinsi kepulauan sekitar 23 juta jiwa atau 8,37 persen dari total penduduk Indonesia. Data BPS (2022), menunjukan bahwa jumlah penduduk di provinsi kepulauan terus bertambah sepanjang 2010-2021 dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding nasional dan provinsi non-kepulauan. Rata-rata pertumbuhan penduduk di provinsi kepulauan sebesar 1,56 persen pada 2011-2021. Sedangkan pertumbuhan penduduk nasional dan provinsi non-kepulauan 1,19 persen. Artinya, perkembangan jumlah penduduk di daerah kepulauan lebih cepat dibanding daerah berbasis daratan. Tingkat kemiskinan di provinsi kepulauan secara rata-rata lebih tinggi dibanding provinsi non-kepulauan. Perbedaannya rata-rata mencapai 0,66 persen pada 2010-2022. Begitu juga dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Rata-rata IPM di provinsi kepulauan lebih rendah dibanding provinsi non-kepulauan. Perbedaannya mencapai 0,98 pada 2010-2021. Kepemimpinan Pemerintah Daerah Maluku yang baru harus menggunakan koneksinya dengan Presiden Prabowo dan Kementerian untuk mengubah pendekatan pusat terhadap Maluku yang berciri kepulauan yang justru hanya merugikan. Jika perlu ada kompensasi terhadap kerugian Maluku selama ini berupa penghapusan hutang pada PT. SMI, atau penundaan masa bayar.
Keempat, perlunya strategi pertumbuhan tinggi. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Maluku hanya berkisar antara -0,91 persen hingga 5,31 persen. Ini tidak cukup untuk mengeluarkan Maluku dari predikat salah satu kantong kemiskinan di Indonesia. Ini juga tidak cukup untuk membuka lapangan pekerjaan secara luas, layak dan berkelanjutan. Maluku butuh pertumbuhan di atas 8 persen per tahun secara konsisten, dan itu tidak akan terjadi jika pendapatan daerah hanya ada kisaran Rp. 3,2 triliun (2025). Untuk menggenjot pendapatan daerah, maka pos PAD (pendapatan asli daerah) harus didorong hingga di atas 50 persen dari total pendapatan daerah. Saat ini porsi PAD baru mencapai 23 persen dari total pendapatan daerah. Untuk mencapainya, perlu ada revitalisasi terhadap pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan seperti BUMD. Bagaimanapun, kinerja BUMD terlalu lemah dan sumbangsinya bagi penambahan PAD sangatlah minim. Kepala Daerah sebagai pemegang saham pengendali tidak boleh ragu untuk melakukan pembenahan atas manajemen dan tata kelola BUMD. Diluar itu, perlu ada terobosan untuk menggali secara ekspansif sumbersumber pembiayaan lokal guna memperkuat derajad kemandirian fiskal daerah. Ini dapat berupa penerapan pajak daerah dan retribusi secara progresif.
Kelima, tentang struktur ekonomi Maluku. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi pergeseran dalam postur perekonomian daerah dimana kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasar harga konstan menurut lapangan usaha, sektor pertanian telah digeser oleh sektor jasa. Pergeseran ini tidak bisa dimaknai sebagai suatu pencapaian yang baik, karena justru sektor pertanian adalah tumpuan mayoritas penduduk Maluku. Kaitannya dengan hal itu, struktur kemiskinan di Maluku didominasi oleh pedesaan yang basis sektornya adalah pertanian. Hingga 2022, prosentase kemiskinan di pedesaan Maluku telah mencapai 24,54 persen sedangkan di perkotaan hanya mencapai 5,90 persen. Begitu pula dengan tingkat penganggurannya yang mayoritasnya ada di pedesaan. Karena itu, melemahnya sector pertanian bukanlah indikator yang baik. Lagi pula, kebutuhan pemenuhan pangan saat ini telah menjadi prioritas pemerintah. Maluku seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dengan memperkuat sektor pertanian. Jika ini terjadi, maka akan banyak devisa yang dihemat untuk digunakan pada sektor produktif lainnya. Itulah beberapa usulan kami kepada pemerintahan daerah yang baru ini. Semoga Tuhan YME. menjadikan Maluku dan orang-orangnya makin maju dan sejahtera. Bagaimana pendapat anda? (*)
Oleh: Tammat R. Talaohu (Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Maluku)