Saumlaki, Kapatanews.com – Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Kesehatan RI, (17/4) khususnya Direktorat Sarana dan Prasarana, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Ambrosius Rahanwati, mendesak agar pemerintah pusat segera membangun satu unit Puskesmas di Kecamatan Molu Maru. Wilayah terpencil yang berbatasan langsung dengan Australia itu disebutnya selama ini mengalami ketimpangan pelayanan kesehatan secara ekstrem.
Dalam forum resmi yang berlangsung di Jakarta, Rahanwati dengan suara lantang menyuarakan keresahan masyarakat Kecamatan Molu Maru. Ia menggambarkan betapa ironisnya kondisi sarana dan prasarana kesehatan di wilayah tersebut. Akibat tidak tersedianya Puskesmas dan tenaga medis yang memadai, banyak nyawa tak berdosa, terutama ibu hamil dan balita, harus melayang sia-sia.
“Sarana dan prasarana kesehatan di Kecamatan Molu Maru sangat memprihatinkan. Banyak ibu hamil, bayi, dan balita meninggal dunia karena tidak ada fasilitas yang memadai untuk mendukung pelayanan kesehatan,” tegasnya.
Ia menceritakan kejadian memilukan yang terus berulang. Ketika seorang ibu hendak melahirkan, keluarga harus membawa pasien dengan menempuh perjalanan laut ke pusat Kabupaten di Saumlaki. Dalam perjalanan panjang dan penuh resiko tersebut, tak jarang ibu dan bayi yang dikandungnya meninggal dunia sebelum mendapat pertolongan medis.
“Apakah masyarakat di Kecamatan Molu Maru bukan warga Negara Indonesia sehingga tidak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas?” tanya Rahanwati dengan nada tajam.
Ia menyatakan bahwa masyarakat tidak menuntut banyak, hanya meminta satu bangunan Puskesmas yang layak untuk menjawab kebutuhan dasar masyarakat. Wilayah itu disebutnya sebagai daerah yang seakan “dibuang” oleh kebijakan pembangunan, seolah-olah tidak dianggap penting meskipun merupakan bagian sah dari Republik Indonesia.
Kondisi geografis Kecamatan Molu Maru yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan sulit dijangkau menjadi alasan mengapa keberadaan fasilitas kesehatan menjadi kebutuhan mendesak. Namun, pemerintah pusat dinilai belum memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini.
“Yang kami minta bukanlah gedung bertingkat atau alat canggih bernilai miliaran. Kami hanya butuh satu Puskesmas yang representatif agar masyarakat tidak perlu berjuang antara hidup dan mati saat membutuhkan layanan medis,” ungkapnya.
Rahanwati menambahkan bahwa masyarakat Molu Maru telah menyatakan kesiapan mereka dengan menyerahkan lahan untuk pembangunan Puskesmas. Namun, usulan yang telah berulang kali diajukan itu belum juga mendapat realisasi dari Kementerian Kesehatan.
“Di kecamatan lain, meski masih ada konflik pembebasan lahan, Puskesmas tetap dibangun. Tapi di Molu Maru, di mana lahan sudah siap, justru pembangunan tak kunjung dimulai. Ini sungguh tidak adil,” tegasnya.
Ia juga mengusulkan agar lokasi Puskesmas nantinya ditempatkan di pusat kecamatan, yaitu di Desa Adodo Molu dan Desa Nurkat. Dengan demikian, masyarakat dari desa-desa lain seperti Tutunametal dan Wulmasa tetap bisa menjangkau fasilitas kesehatan dengan relatif mudah.
Pernyataan Rahanwati di forum tersebut tidak hanya mewakili suara rakyat Molu Maru, tetapi juga menjadi tamparan bagi para pemangku kebijakan yang selama ini belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) itu.
Komentar Tajam Ambrosius Rahanwati:
“Coba bayangkan, sudah berapa banyak ibu hamil yang meninggal dalam perjalanan ke pusat Kabupaten hanya karena tidak ada fasilitas kesehatan di Molu Maru? Siapa yang harus bertanggung jawab atas nyawa-nyawa itu?”
“Kami di Tanimbar bukan meminta kemewahan. Kami hanya minta satu Puskesmas saja. Kalau itu pun tidak bisa diwujudkan, maka negara harus jujur kepada rakyatnya: Apakah kami ini bagian dari Indonesia atau bukan?”
“Saya baru saja dihubungi warga bahwa dua ibu hamil kembali menjadi korban. Mereka harus menyeberangi laut dengan risiko tinggi untuk bisa melahirkan. Karena tak ada tenaga medis, orang tua dan warga terpaksa menjadi ‘bidan dadakan’ untuk menolong persalinan. Apa itu layak untuk negara seperti Indonesia di tahun 2025?”
“Kami sudah sediakan lahan, kami sudah berkali-kali mengusulkan, tapi tidak pernah digubris. Ini bukan lagi soal politik atau proyek, ini soal nyawa manusia. Apakah harus ada lebih banyak korban lagi baru pemerintah mau turun tangan?”
“Saya tegaskan sekali lagi, Puskesmas harus dibangun di pusat Kecamatan Molu Maru. Jangan lagi masyarakat kami dijadikan penonton pembangunan. Kami adalah bagian dari Republik Indonesia. Kami punya hak yang sama untuk hidup sehat dan layak!”
Harapan besar kini tertuju kepada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia agar usulan pembangunan Puskesmas di Kecamatan Molu Maru tidak lagi hanya menjadi wacana yang terus-menerus ditunda. Kehadiran fasilitas kesehatan yang layak di daerah terpencil bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi juga wujud nyata dari keadilan sosial dan komitmen negara dalam melayani seluruh warganya tanpa kecuali.
Kementerian Kesehatan diharapkan segera melakukan verifikasi lapangan dan mengambil langkah konkret untuk menetapkan pembangunan Puskesmas tersebut dalam program prioritas nasional. Tidak boleh lagi ada pembiaran terhadap situasi darurat kesehatan yang merenggut nyawa warga hanya karena alasan akses dan infrastruktur. Kementerian Kesehatan juga diharapkan dapat bersinergi dengan berbagai pihak, termasuk Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dalam percepatan pembangunan fasilitas tersebut.
Di tingkat daerah, Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Tanimbar juga diharapkan mengambil sikap lebih proaktif. Tidak cukup hanya mengusulkan, tetapi harus memperjuangkan secara aktif dengan menyampaikan data, fakta lapangan, dan kebutuhan mendesak masyarakat kepada pemerintah pusat. Peran Dinas Kesehatan sangat strategis sebagai penghubung antara masyarakat dan kebijakan pusat.
Pembangunan Puskesmas di Molu Maru bukan sekadar proyek, melainkan harapan hidup ribuan jiwa. Pemerintah harus hadir di tengah masyarakat, terutama di daerah-daerah terluar yang selama ini merasa terabaikan. Sudah saatnya negara membuktikan bahwa setiap warga negara, dari pusat kota hingga perbatasan, layak mendapatkan layanan kesehatan yang adil dan manusiawi. (KN-07)