Saumlaki, Kapatanews.com – Di balik tenangnya pesisir Desa Alusi, tersimpan kisah kelam tentang seorang figur yang kerap memantik bara dalam sekam. Petrus Melsasail nama yang dalam beberapa bulan terakhir terus disebut dalam bisik-bisik warga, kini menyeruak menjadi simbol dari kerusakan moral, sosial, dan spiritual di tengah masyarakat.
Dalam perannya sebagai Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Petrus seharusnya menjadi suluh. Namun, kenyataannya justru sebaliknya: ia menjadi api yang membakar jalinan harmoni desa.
Manipulasi Pisang Dua Juta: Simbol Ketamakan
Yulius Rurum, Ketua BPD Alusi, angkat bicara dengan suara tegas yang nyaris bergetar menahan amarah. Ia mengungkapkan bahwa Petrus terlibat langsung dalam manuver tidak etis soal pembebasan lahan milik keluarganya sendiri.
“Satu pohon pisang dihargai Rp2 juta, itu bukan lagi keliru, itu tamak. Dan lebih parahnya, uang itu masuk ke kantong Saudara Kandungnya Maria Melsasail, dan dia sebagai aktor utama dalam pengaturan itu,” ujar Yulius Rurume.

Angka yang tak masuk akal untuk satu pohon pisang seolah menjadi puncak gunung es dari berbagai kecurangan yang dibungkus rapi oleh kuasa dan jabatan.
Proyek Diblokir, Pembangunan Dikorbankan
Tak berhenti di situ, dalam proyek strategis pembangunan jembatan penghubung antara Poros 1 dan Poros 2, Petrus kembali menjadi hambatan utama. Ia disebut memprovokasi keluarganya untuk menolak pembangunan yang telah disepakati secara resmi dalam Musyawarah Desa.
“Ini bukan hanya soal beda pendapat. Ini sabotase. Ia sengaja menunda kemajuan demi kepentingan pribadi,” tegas Yulius. Akibatnya, desa tak hanya dirugikan secara finansial, tetapi juga kehilangan momentum pembangunan.
Petrus Makan Gaji Buta
Yulius mengungkapkan bahwa selama lebih dari enam bulan, Petrus tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota BPD secara maksimal. Meski begitu, gaji tetap ia kantongi tanpa rasa malu.
“Apakah kita harus diam melihat orang seperti ini menerima hak, tanpa pernah menjalankan kewajiban?” tanyanya tajam.
Yulius bahkan telah menerbitkan Surat Peringatan (SP) 1, namun ditanggapi Petrus dengan pelecehan institusional.
“Dia bilang saya tak berhak memberi SP karena SK-nya dari Bupati. Tapi sebagai Ketua BPD, saya punya wewenang menjaga integritas lembaga. Ini bukan soal ego, ini soal etika,” katanya.
Sasi Dilanggar, Umat Dikorbankan
Salah satu peristiwa paling mengiris nalar dan nurani adalah insiden pembongkaran sasi kelapa secara sepihak. Padahal, telah ada kesepakatan antara pemerintah desa dan masyarakat tentang jadwal buka dan tutup sasi. Tindakan Petrus bersama sekelompok kecil warga itu langsung memicu keretakan sosial.
Pemerintah desa akhirnya melibatkan aparat dari Polsek Kormomolin untuk melakukan pembinaan terhadap 18 warga. Tapi Petrus justru membalas dengan aksi massa.
“Ia menggerakkan sekitar 50 orang untuk mendatangi Polsek dan membuat keributan. Semua ini terjadi saat umat Katolik sedang menjalani masa Prapaskah,” ungkap Yulius.
Menghancurkan Kesucian Prapaskah
Dalam masa suci yang seharusnya menjadi waktu perenungan, pertobatan, dan rekonsiliasi, Petrus malah menjadikannya panggung provokasi.
“Bagi kami, ini bukan hanya pelanggaran sosial. Ini penghinaan terhadap nilai-nilai iman. Sangat menyedihkan seorang Ketua DPP malah menjadi penyebab kekacauan di tengah umat,” ujar Yulius, dengan nada suara yang perlahan menurun karena kecewa yang dalam.
Petrus Membawa Kekacauan ke DPRD
Yang lebih mengkhawatirkan, aksi Petrus Melsasail juga telah merambah ke ruang demokrasi lokal. Saat DPRD Kepulauan Tanimbar mengundang kepala desa dan dinas terkait dalam sebuah rapat penting, Petrus lagi-lagi memobilisasi massa untuk membuat kekacauan di gedung dewan.
Yulius menyebutnya sebagai titik nadir. “Apa pantas seorang Ketua DPP memprovokasi orang untuk menyerbu ruang sidang? Itu tempat terhormat untuk musyawarah, bukan panggung anarki,” katanya.
Desakan Mundur Makin Kuat
Kini, suara-suara agar Petrus Melsasail mundur dari semua jabatannya semakin keras dan bulat. Bukan hanya dari lingkaran BPD atau aparat desa, tapi juga dari umat dan tokoh-tokoh gereja yang selama ini memilih diam.
“Sudah cukup. Nama baik gereja, nama baik desa, semuanya telah ia rusak. Kita tidak bisa membiarkan seorang pengacau terus duduk di kursi pelayanan,” tegas Yulius.
Petrus Melsasail telah menjelma dari seorang pelayan menjadi simbol kekacauan. Dan Desa Alusi, yang dahulu tenteram, kini terjebak dalam pusaran provokasi dan kehancuran yang ditinggalkannya. Jika suara masyarakat tak lagi didengar, maka sejarah akan mencatat bahwa semua kerusakan ini berakar dari satu nama: Petrus Melsasail. Dan mereka yang diam, adalah bagian dari kebusukan itu. (KN-07)