Saumlaki, Kapatanews.com – Aroma amis bukan hanya datang dari laut, tetapi juga dari praktik-praktik kotor yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia-Australia, khususnya di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Warga Negara Asing (WNA) diduga berkeliaran bebas dan menjalankan bisnis kelautan ilegal, tanpa pengawasan berarti dari institusi yang seharusnya menjaga kedaulatan laut dan hukum negara.
Sementara di belahan selatan, Australia dengan lantang menuduh Indonesia sebagai “pencuri hasil laut”, nelayan lokal di Saumlaki hanya bisa menunduk pasrah. Mereka bukan pelaku, tetapi korban dari sistem yang membiarkan pelaku sesungguhnya: pengusaha WNA dan pemodal lokal yang memainkan celah hukum.
“Ini bukan hanya soal pencurian teripang. Ini pembiaran sistematis. Negara kita sendiri yang membuka pintu buat orang luar masuk seenaknya, lalu kita yang dituduh mencuri,” ungkap Jems Masela, tokoh masyarakat pesisir sekaligus pemerhati isu-isu maritim di Tanimbar, dengan nada getir.
Jems mengungkap, hasil investigasi lapangan menunjukkan banyaknya kejanggalan dalam aktivitas para WNA yang masuk ke Tanimbar. Mereka datang dengan visa yang diragukan legalitasnya, bahkan tanpa dokumen penting seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Padahal, dokumen itu wajib dimiliki perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing.
“Saya berani katakan, ini bukan lagi dugaan, tapi modus kejahatan terorganisir. Ada WNA asal Tiongkok, namanya Hugo, yang dengan santainya melakukan aktivitas bisnis kelautan. Padahal ia hanya ‘nebeng’ perusahaan lokal bernama Bone dari Surabaya. Tapi anehnya, tidak ada tindakan dari pihak berwenang,” beber Jems.
Ia menambahkan, kehadiran Hugo bukan pertama kali. Sudah berulang kali wartawan lokal berusaha menyuarakan hal ini. Bahkan beberapa wartawan mengaku sudah mewawancarai langsung instansi terkait, mulai dari Imigrasi, Dinas Ketenagakerjaan, hingga aparat keamanan. Namun, responnya dingin dan bahkan terkesan menyepelekan.
“Ini bukan kebodohan, ini kesengajaan. Kalau tidak ada ‘vitamin U’ yang mengalir, mustahil semua instansi bisa seragam diam,” ujar Jems, menyindir dengan tajam kemungkinan adanya suap atau gratifikasi.
Menurutnya, pencurian teripang yang dilakukan oleh oknum WNA yang bekerja sama dengan pengusaha lokal, selain merugikan ekosistem laut, juga menghancurkan mata pencaharian nelayan kecil. Teripang yang dulunya bisa menjadi sumber penghidupan warga, kini dikuasai oleh pihak asing yang berlindung di balik celah hukum dan ketidakpedulian birokrasi.
“Waktu Australia tangkap kapal kita di perbatasan, mereka bilang kita maling. Tapi mereka tidak tahu, yang maling justru orang luar yang masuk dari pintu depan. Dan ironisnya, yang bukakan pintu adalah aparat dan birokrat kita sendiri,” tambah Jems.
Ia pun menuntut agar aparat kepolisian dan pihak Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) segera memeriksa legalitas Bone dan Hugo. Jems menyebut bahwa tindakan tegas harus dilakukan demi menjaga wibawa negara.
“Kami tidak ingin Tanimbar menjadi alasan Indonesia dicap sebagai pencuri laut. Tanimbar harus dibersihkan dari aktivitas WNA ilegal. Bone harus ditangkap, Hugo harus dideportasi, dan semua pejabat yang terlibat harus diperiksa. Jangan tunggu Australia buat laporan resmi ke dunia internasional baru kita bergerak,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Imigrasi maupun Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Upaya konfirmasi yang dilakukan oleh media ini hanya dijawab singkat bahwa pihak mereka “masih mengecek data di lapangan”.
Namun bagi nelayan lokal, waktu terus berjalan. Setiap hari, laut mereka diobok-obok. Dan setiap hari pula, tuduhan pencuri terus diarahkan kepada Indonesia. Bukan karena nelayannya jahat, tapi karena sistemnya longgar dan petugasnya tak berdaya atau pura-pura buta.
“Kita sedang diuji. Apakah kita akan diam, atau akan bertindak menyelamatkan nama baik bangsa dari aib ini?” pungkas Jems Masela dengan nada menggelegar. (KN-07)