Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Pemerintahan

Pendamping Desa Lawan Salah, Balasannya Dibuang dan Dibungkam Secara Sadis

×

Pendamping Desa Lawan Salah, Balasannya Dibuang dan Dibungkam Secara Sadis

Sebarkan artikel ini

Saumlaki, Kapatanews.com – Angin dendam pribadi kini berhembus tajam dari balik meja birokrasi. Tahun 2025, Provinsi Maluku dirundung keresahan pasca terbitnya Surat Perintah Melaksanakan Tugas bagi Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang menuai kecaman.

Salah satu kasus paling mengiris terjadi atas nama Piter Lean Layan, S.Hut pendamping desa lokal berdomisili di Desa Seira, Kecamatan Wermaktian, yang secara mengejutkan dipindahkan ke Kecamatan Selaru. Pemindahan itu diduga bermuatan dendam pribadi dan pembalasan terhadap kritik yang pernah ia lontarkan kepada atasan akibat kerja pimpinan yang ngawur.

Surat Keputusan tersebut mencuat bukan karena pertimbangan profesionalisme atau kebutuhan wilayah, melainkan dilatarbelakangi hubungan buruk antara Piter dan Koordinator Tenaga Ahli Kabupaten, Anita Dangeubun.

Piter sebelumnya dikenal aktif mengkritisi mekanisme kerja pimpinan yang dinilainya tidak sesuai prosedur, hingga akhirnya kritik itu dianggap sebagai ancaman. Jawabannya? Pemindahan paksa dari kampung halamannya sendiri.

Dalam kisah mencekam ini, Anita Dangeubun disebut-sebut sebagai dalang utama pemetaan yang tidak adil. Ia dituding menggunakan kewenangan untuk “menganak-emaskan” yang patuh dan “membuang” mereka yang kritis. Piter Lean Layan bukanlah satu-satunya korban, tetapi ia menjadi potret paling tragis dari kekuasaan yang diliputi dendam.

Pemindahan terakhir dilakukan pada awal Juni 2025, dari Desa Seira menuju Kecamatan Selaru, sebuah wilayah terpisah secara geografis dan cukup sulit dijangkau. Padahal, Piter baru saja kembali dari penugasan sebelumnya di Fordata dan berharap bisa melanjutkan tugas di Seira, tempat ia telah berdinas selama enam tahun dan berdomisili sesuai KTP. Ironisnya, tiga desa dampingan di Seira kini kosong: Weratan, Themin, dan Rumahsalut.

Karena pemetaan tersebut melanggar prinsip keadilan, profesionalitas, dan asas kemanusiaan dalam penugasan tenaga pendamping lokal.

“Saya baru pindah dari Fordata masuk Seira, ada orang yang tidak pernah pindah kenapa tidak buat pemetaan untuk mereka pindah?” ungkap Piter dalam pernyataan emosionalnya. Ia merasa dijadikan korban karena bersuara, bukan karena tidak kompeten.

Ditambah lagi, kondisi geografis Selaru yang sulit, biaya hidup tinggi, serta gaji bulanan hanya Rp2,4 juta, membuat penempatan itu terasa lebih sebagai hukuman sosial ketimbang kebijakan profesional.

“Saya punya tanggung jawab keluarga, istri dan anak-anak. Tapi saya harus keluar dari kampung sendiri,” ujar Piter dengan suara parau menahan luka.

Kekosongan tenaga di desa dampingan, keresahan sosial, dan hilangnya kepercayaan terhadap sistem penempatan TPP menjadi bom waktu. Jika tidak dikoreksi, praktik semacam ini dapat menjalar dan merusak tatanan pembinaan desa. Bahkan, ada sinyal bahwa pemetaan ini dilakukan sepihak tanpa rapat koordinasi atau pemberitahuan kepada para Tenaga Ahli (TA) lainnya.

“Saya ini anak buangan,” tulis Piter dalam pesannya kepada wartawan Ia menambahkan bahwa ini pertama kali terjadi dalam sejarah penempatan, di mana ada tiga desa dibiarkan kosong hanya karena pemetaan didorong dendam.

Piter Lean Layan meminta agar Surat Keputusan itu direvisi. Ia menekankan agar penempatan dilakukan berdasarkan mekanisme resmi, memperhatikan domisili dalam KTP, serta menghindari intervensi emosional dari oknum pejabat yang berpikir dengan otak kosong.

“Jangan karena dendam pribadi kemudian seenaknya mengusulkan untuk ditempatkan di desa lain. Semua ada waktunya. Tuhan melihat,” ujarnya menutup dengan getir.

Kasus ini membuka mata bahwa di balik Surat Perintah yang tampak resmi, bisa saja tersembunyi agenda gelap dan balas dendam personal. Jika satu suara seperti Piter tidak diperjuangkan, maka akan semakin banyak “anak buangan” yang kehilangan tempat di tanah sendiri.

Apakah Maluku akan diam? Ataukah keadilan akhirnya bicara? Waktu yang akan menjawab. Tapi saat ini, tiga desa kosong menunggu, dan seorang anak kampung terbuang menangis di Selaru. (KN-07)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad