Saumlaki, Kapatanews.com – Keberadaan kapal-kapal motor Andon yang terus beroperasi secara ilegal di laut adat Kampung Lama Ngorafruan, Pulau Seira, memicu kemarahan masyarakat.
Putra daerah dan keluarga besar Louloulia Wuritimur menyatakan sikap tegas, menuntut penghentian aktivitas kapal asing yang dianggap melecehkan batas-batas adat dan kedaulatan masyarakat lokal.
Ois Batayaman Wuritimur, Ketua Ikatan Keluarga Lima Satu Seira Saumlaki (IKLAS) di Manado sekaligus putra asli Kampung Rumahsalut, tampil mewakili sikap resmi keluarga besar Louloulia Wuritimur.
Ia menyampaikan pernyataan keras terhadap para nelayan pendatang pengguna kapal Andon dan juga mengkritik diamnya pemerintah desa.
Masyarakat adat Ngorafruan menilai batas laut adat mereka telah dilanggar secara terang-terangan oleh kapal-kapal Andon yang beroperasi tanpa izin.
Bendera adat yang dipasang sebagai tanda larangan labuh telah diabaikan, bahkan diinjak secara simbolis oleh aktivitas ilegal tersebut. Hal ini dianggap sebagai pelecehan terhadap martabat masyarakat adat dan warisan leluhur.
Insiden ini berlangsung dalam beberapa pekan terakhir di perairan laut adat Kampung Lama Ngorafruan, yang terletak di Pulau Seira, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Aksi protes masyarakat diperkirakan akan meningkat bila tidak ada tanggapan dari pemerintah Desa.
Menurut Ois Wuritimur, tindakan para pengguna kapal Andon tidak hanya melanggar hukum adat, tetapi juga melecehkan simbol-simbol kehormatan masyarakat Seira. Empat kali pendekatan damai telah dilakukan oleh masyarakat, namun tak digubris.
“Ini bukan lagi soal ekonomi, ini pelecehan terang-terangan terhadap harga diri kami keluarga besar Wuritimur-Loulolia,” ujar Ois dengan nada kecewa.
Keluarga besar Louloulia-Wuritimur menyatakan dukungan penuh terhadap masyarakat kampung lama untuk mengambil tindakan langsung jika tak ada penanganan dari pemerintah.
“Kami tidak akan diam. Kalau tidak ada penegakan hukum, masyarakat akan turun langsung. Ini soal kehormatan leluhur,” tegas Ois.
Pemerintah Desa dan aparat administratif wilayah Lima Satu Seira turut mendapat kecaman keras. Menurut Ois, pihak-pihak yang memiliki kewenangan justru memilih diam di tengah situasi darurat kultural ini.
Ia menilai ketidaktegasan pemerintah telah memperburuk keadaan dan menyebabkan keresahan di tengah masyarakat.
Jika tidak ada respons konkret dari pemerintah desa dan aparat keamanan, masyarakat mengancam akan melakukan aksi langsung di laut.
Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan atas pelanggaran terus-menerus terhadap batas laut adat. Aksi ini juga mendapat dukungan penuh dari masyarakat rantau yang tergabung dalam IKLAS.
Bendera batas labuh yang dipasang di titik-titik tertentu di laut adat bukan sekadar penanda visual, tetapi simbol sah kedaulatan yang diwariskan secara turun-temurun.
Penginjakkan secara simbolik terhadap batas tersebut, menurut masyarakat, sama artinya dengan menginjak martabat dan kehormatan leluhur mereka.
“Ngorafruan bukan lautan tak bertuan. Ini adalah tanah dan laut adat yang punya hukum, punya batas, dan punya penjaga,” ujar Ois dalam pernyataan resminya. Ia menegaskan bahwa jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah daerah maupun pusat, maka gerakan ini akan terus digaungkan hingga ke tingkat nasional.
Catatan Redaksi
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ois Batayaman Wuritimur, Ketua IKLAS Seira di Manado dan tokoh muda dari Seira. Sikap tersebut merupakan bentuk keprihatinan dan kemarahan keluarga besar Louloulia Wuritimur terhadap berlanjutnya pelanggaran batas laut adat oleh kapal-kapal nelayan luar. (KN-07)