Saumlaki, Kapatanews.com – Kasus pencabutan meteran listrik milik Lamulyadi, nelayan kecil asal Buton yang tinggal di kawasan Pasal Omele, Saumlaki, akhirnya mencapai titik terang. Setelah melalui sejumlah proses klarifikasi, Okto telah menyelesaikan kewajibannya dengan melunasi biaya denda yang ditetapkan oleh PLN Saumlaki sebesar Rp11 juta. Pihak PLN pun berjanji akan segera memasang meteran baru di rumah Lamulyadi.
“Iya, saya sudah selesaikan biaya denda yang ditetapkan oleh PLN Saumlaki sebesar Rp11 juta. Dan nanti PLN akan memasang meteran baru untuk Lamulyadi,” ujar Okto, pegawai PLN Saumlaki, saat dikonfirmasi pada Rabu (10/7).
Klarifikasi dan Penyelesaian Secara Kekeluargaan
Pihak PLN Saumlaki melalui Okto menyampaikan bahwa permasalahan ini telah ditangani dan diselesaikan secara internal serta kekeluargaan. Ia menegaskan bahwa tidak ada niat untuk memperpanjang polemik, apalagi memperkeruh keadaan. Semua pihak telah duduk bersama dan mencapai titik temu.
“Masalah ini sudah selesai. Harapan saya, jangan lagi diperbesar karena proses kesepakatan dan penyelesaian denda telah dikembalikan ke PLN Saumlaki. Semuanya juga sudah diatur secara kekeluargaan secara baik,” kata Okto.
Penyelesaian ini membawa angin segar bagi keluarga Lamulyadi yang sebelumnya hidup dalam gelap lebih dari sebulan akibat pencabutan meteran secara sepihak. Kini mereka hanya menunggu proses pemasangan meteran baru agar dapat kembali menjalani kehidupan dengan tenang dan terang.
Kronologi Singkat: Dari Ketidakjelasan hingga Harapan Baru
Sebelumnya, kisah pilu Lamulyadi menyita perhatian publik. Ia mengaku tidak pernah melakukan pelanggaran listrik, apalagi mengotak-atik meteran yang dipasang sejak empat tahun lalu oleh pegawai PLN sendiri. Namun, setelah ia dan keluarga pulang dari kampung halaman, mereka mendapati meteran listrik di rumahnya dicabut tanpa pembicaraan terlebih dahulu oleh petugas PLN Saumlaki.
Pihak PLN menyebut adanya dugaan pelanggaran karena selama tiga bulan tidak ada pembelian pulsa listrik. Sementara Lamulyadi bersikeras bahwa hal itu karena rumah ditinggal kosong dan konsumsi listrik mereka sangat rendah hanya untuk dua mata lampu.
Dengan nada getir, ia bahkan sempat mengungkap bahwa pemasangan awal meteran dilakukan oleh pegawai PLN bernama Okto, sehingga jika ada kesalahan teknis, ia merasa seharusnya itu menjadi tanggung jawab internal PLN.
Respons Keluarga Lamulyadi
Istri Lamulyadi, Walinca, saat dihubungi kembali menyampaikan rasa syukur atas penyelesaian ini. Ia mengaku bahwa Rp11 juta merupakan beban berat bagi keluarga nelayan kecil seperti mereka, namun mereka memilih untuk menyelesaikan persoalan ini agar bisa hidup tenang tanpa tekanan.
“Kami bersyukur masalah ini sudah selesai. Yang kami harapkan hanya bisa hidup normal lagi, ada listrik untuk anak-anak, dan tidak ada lagi ketakutan,” ucap Walinca dengan suara lebih tenang dibanding sebelumnya.
Kisah Lamulyadi menjadi cermin penting bagi perlunya pendekatan kemanusiaan dalam pelayanan publik, khususnya bagi masyarakat ekonomi lemah. Meski masalah telah selesai, suara hati warga kecil seperti Lamulyadi mengingatkan bahwa proses hukum, pelayanan, dan aturan teknis harus tetap mengedepankan sisi edukatif, dialogis, dan manusiawi.
“Kalau kami salah, beri tahu kami secara baik. Jangan langsung cabut, jangan langsung tuntut. Kami ini bukan pencuri listrik, kami hanya tak paham teknis,” kata Lamulyadi dengan nada lirih namun lega.
Penyelesaian damai antara pihak PLN dan Lamulyadi diharapkan menjadi contoh pendekatan dialogis antara lembaga pelayanan publik dengan masyarakat. Okto mewakili PLN menegaskan bahwa tidak ada niat PLN untuk merugikan pelanggan, melainkan ingin menegakkan aturan yang berlaku.
PLN Saumlaki pun diminta ke depan dapat lebih intens melakukan edukasi kepada pelanggan terkait hak dan kewajiban, termasuk sistem pengawasan penggunaan listrik secara bijak dan transparan.
Kini, setelah masa kelam yang menyesakkan akhirnya berlalu, keluarga Lamulyadi menatap hari-hari ke depan dengan secercah harapan: kembali hidup dalam terang, tanpa bayang-bayang ketakutan. (KN-07)