Oleh: Tammat R. Talaohu (Wakil Ketua Umum Koordinator Perekonomian Kadin Maluku)
Ambon,Kaptanews.com- Hari-hari ini, ke-Indonesia-an kita sedang diuji, tidak saja oleh maraknya aksi protes dan demontrasi berbagai kelompok cipil society, tetapi terutama oleh cara kita mengola kehidupan bernegara.
Para politisi (legislator), kelompok elit yang menjadi aktor utama dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan nasional, menjadi bagian integral dari bagaimana membangun masa depan bangsa.
Karenanya, menjadi politisi yang cerdas dan berwawasan luas tidak saja menjadi kebutuhan lanskap demokrasi nasional tetapi bagian langsung dari proses
memajukan bangsa itu sendiri.
Tulisan pendek ini adalah semacam refleksi dari keprihatinan akan kondisi bangsa kita saat ini sekaligus masukan bagi para politisi untuk lebih mawas diri dan terus memperkuat kapasitas intelektualnya.
Kebiasaan membaca adalah fondasi utama dalam pembentukan masyarakat yang cerdas, kritis, dan berdaya saing tinggi. Di tengah era informasi saat ini, kemampuan membaca dan memahami informasi menjadi penentu arah kemajuan suatu bangsa.
Namun, membaca tidak hanya berdampak pada peningkatan individu secara pribadi, tetapi juga memiliki hubungan erat
dengan kualitas kehidupan politik, kemajuan bangsa, dan keberlangsungan demokrasi.
Politisi sebagai penggerak kebijakan publik membutuhkan wawasan luas, nalar kritis, dan kesadaran sosial yang hanya bisa diperoleh melalui kebiasaan membaca yang konsisten.
Begitu pula masyarakat luas, sebagai pemilik kedaulatan demokrasi, perlu membekali diri dengan informasi dan pengetahuan agar tidak mudah terpengaruh oleh hoaks, propaganda, dan manipulasi politik.
Politik adalah seni mengatur dan mengelola kehidupan bersama dalam suatu negara. Untuk dapat berpolitik dengan sehat dan bermartabat, seseorang perlu memiliki pemahaman mendalam mengenai berbagai aspek: hukum, sejarah, ekonomi, budaya, dan hubungan internasional.
Semua pengetahuan tersebut tidak bisa diperoleh secara instan, ia harus dibangun melalui kebiasaan membaca. Politisi yang rajin membaca akan memiliki kedalaman berpikir, mampu merumuskan kebijakan berdasarkan data dan analisis, bukan sekadar retorika.
Ia juga akan lebih terbuka terhadap kritik, mampu berdialog dengan berbagai pihak, dan menghindari populisme dangkal. Kebiasaan membaca membuka wawasan terhadap pengalaman negara lain, sehingga bisa menjadi rujukan untuk solusi masalah dalam negeri.
Sebaliknya, politisi yang miskin bacaan cenderung bersikap otoriter, anti kritik, dan hanya mengejar kepentingan jangka pendek. Akibatnya, kebijakan yang lahir tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada kepentingan kelompok sempit. Ini tentu membahayakan demokrasi dan memperlambat kemajuan bangsa.
Sejarah Indonesia mencatat, tokoh sekaliber HOS. Cokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim adalah pembaca yang kuat. Bahkan Bung Karno sejak masih di sekolah menengah telah melahap bacaan berat Karl Marx, Friederick Engels, Jacques Rousseau, Voltaire, majalah Vogue dan Nugget terbitan Amerika.
Tak mengherankan bila di usia yang masih muda si Bung sudah paham akan Revolusi Perancis, gerakan buruh Inggris, kemerdekaan Amerika, ataupun mitologi Yunani.
Begitu juga dengan Bung Hatta, proklamator yang juga Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia itu meminta 16 peti bukunya diangkut dengan kapal guna dibawa ke tempat pembuangannya di Boven Digoel, Papua. Hatta mengisi waktu-waktu pengasingannya dengan menyibukan pikirannya bergumul dengan buku-buku itu.
Setiap pendiri bangsa itu juga aktif menulis di media massa, pamplet ataupun buku. Kuasa buku dan pendidikan memungkinkan lahirnya tokoh-tokoh pendiri bangsa yang ulet dan pantang menyerah, lagi cerdas cendekia.
Membaca menjadi vital karena kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Korea Selatan memiliki budaya membaca yang tinggi.
Masyarakat di negara tersebut sejak dini sudah dibiasakan membaca tidak hanya buku pelajaran,tetapi juga literatur umum,sains, dan teknologi.Akibatnya, mereka mampu menciptakan inovasi, memimpin perkembangan industri, serta mengelola pemerintahan yang efektif dan efisien.
Di sisi lain, bangsa yang minim budaya membaca akan tertinggal dalam banyak aspek. Rendahnya literasi membuat masyarakat mudah diperdaya, tidak produktif, dan cenderung konsumtif. Ini menjadi beban jangka panjang bagi negara, karena pemerintah harus mengalokasikan sumber daya untuk memperbaiki kualitas SDM yang sebenarnya bisa dicegah melalui budaya literasi sejak dini.
Pendidikan, sebagai kunci pembangunan, hanya bisa efektif jika ditopang oleh kebiasaan membaca. Sekolah bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga harus menjadi taman bacaan yang menumbuhkan rasa ingin tahu, kreativitas, dan nalar kritis.
Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi rakyat yang cerdas. Rakyat yang cerdas hanya bisa lahir dari masyarakat yang suka membaca. Tanpa membaca, pemilih mudah dipengaruhi oleh janji politik kosong, kampanye hitam, atau berita palsu.
Mereka akan memilih bukan berdasarkan visi, program dan rekam jejak, melainkan karena faktor emosional, identitas sempit, atau tekanan sosial. Dengan membaca, masyarakat bisa menilai kebijakan pemerintah secara objektif, mengawasi jalannya pemerintahan, serta aktif memberikan masukan atau kritik yang konstruktif.
Hal ini memperkuat akuntabilitas pemerintah dan memperkecil ruang bagi korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, membaca memperluas wawasan tentang nilai-nilai demokrasi itu sendiri seperti toleransi, hak asasi manusia, kebebasan pers, dan supremasi hukum.
Nilai-nilai ini tidak akan tumbuh dalam masyarakat yang anti-intelektual atau hanya mengandalkan narasi-narasi politik tanpa pembacaan kritis. Sayangnya, tingkat literasi di Indonesia masih tergolong rendah.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional, minat baca masyarakat Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara-negara lain di Asia. Banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari akses buku yang terbatas, kurangnya dukungan keluarga, hingga rendahnya kualitas pendidikan.
Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya upaya kolaboratif antara pemerintah, institusi pendidikan, media, dan masyarakat. Pemerintah harus memperluas akses terhadap bahan bacaan murah dan berkualitas, membangun perpustakaan yang modern dan ramah anak, serta mendukung program literasi digital.
Sekolah harus menjadikan membaca sebagai kebiasaan, bukan hanya tugas. Politisi juga harus menjadi contoh, bukan hanya berbicara soal literasi tetapi juga
menunjukkannya melalui kebiasaan pribadi. Media pun harus menyajikan informasi yang mendidik, bukan sekadar sensasional.
Kebiasaan membaca bukan sekadar aktivitas akademik, tetapi merupakan investasi jangka panjang bagi kualitas politis individu, kemajuan bangsa, dan kokohnya demokrasi. Negara yang kuat tidak dibangun oleh rakyat yang pasif, tetapi oleh warga yang aktif membaca, berpikir kritis, dan terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Oleh karena itu, membangun budaya membaca harus menjadi prioritas nasional. Dari rumah ke sekolah, dari parlemen ke pasar, semua harus menjadikan membaca sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Hanya dengan cara itu, kita bisa mewujudkan bangsa yang maju, adil, dan demokratis. Semoga..! (KN-05)