Saumlaki, Kapatanews.com – Aktivis Muda Katolik, Anders Luturyali, kembali bersuara dengan menyampaikan bahwa sangat wajar jika masyarakat menaruh rasa curiga terhadap pemerintah. Hal itu menurutnya merupakan bagian dari penerapan sistem demokrasi suatu negara. Menurut Adnan Buyung Nasution, “Setiap kekuasaan harus dicurigai, dan itu wajib hukumnya bagi negara demokrasi.” Lalu, mengapa di Kabupaten Kepulauan Tanimbar justru terbalik? Pemerintahlah yang mencurigai rakyatnya sendiri.
Menurut Anders, masyarakat Tanimbar sangat wajar mencurigai pemerintahan Bupati KKT Ricky Jauwerissa karena banyak hal tidak sesuai dengan apa yang pernah disampaikan. Misalnya, pernyataan Bupati KKT tanggal 4 Juli 2025, di mana ia berjanji akan memproses para pejabat yang menerbitkan SK bagi honorer siluman. Namun hingga kini, arah tindakannya masih belum jelas.
Ada lagi pernyataan Bupati pada tanggal 21 Oktober 2025 ketika para honorer yang tergabung dalam aksi Forum 952 memecahkan beberapa jendela kaca di kantor BPKAD KKT. Bupati Ricky Jauwerissa mengatakan, “Beta kira seng sampai situlah. Kalau cuma sebatas kaca ya, Pemda masih bisalah. Tetapi ini peringatan keras untuk ke depan, nanti penyampaian pendapat tidak boleh lagi.” Namun, kemudian tindakannya berbanding terbalik dengan yang pernah disampaikan sebelumnya.
Bagi Anders, kecurigaan Bupati KKT terhadap masyarakat Tanimbar adalah gangguan tak kasatmata dalam tubuh pemerintah daerah, terutama terhadap dirinya sendiri. Ia menyamar di balik retorika ketertiban, bersembunyi di balik jargon stabilitas, dan menyusup lewat kecurigaan terhadap suara rakyat. Dalam ruang kekuasaan yang terlalu steril dari kritik, gangguan ini tumbuh subur, mengubah protes menjadi ancaman, dan menjadikan Bupati KKT gelisah saat rakyat bersuara.
Ada yang ganjil ketika Bupati KKT merasa gelisah terhadap suara rakyatnya sendiri. Demonstrasi damai yang berlanjut dengan sedikit anarkis ditanggapi dengan retorika waspada. Kritik publik dianggap sebagai serangan, dan suara aktivis dibaca sebagai gangguan. Ganjil, tapi sayangnya tidak asing. Ini merupakan fenomena ketakutan berlebihan terhadap ekspresi masyarakat sipil.
Bupati KKT Ricky Jauwerissa, dalam wawancaranya bersama jurnalis, sempat menunjukkan wajah kepemimpinan yang reflektif, bahkan humanis. Ia bicara dengan senyum lebar dan penuh kekeluargaan. Namun, dalam satu momen saat ditanya soal demonstrasi dan keresahan publik, kalimat yang keluar justru, “Saya sangat menghargai PPPK kita. Tapi ketika aksi dimanfaatkan oleh pihak lain, maka itu bukan lagi soal hak berpendapat, melainkan upaya mengacaukan ketertiban,” ungkapnya.
Menurut Putra Mandrwiak, kalimat ini terdengar biasa. Namun bagi mereka yang memahami dinamika demokrasi, ini adalah pintu masuk menuju logika yang kacau. Sebab ia tidak mulai dari mendengar isi tuntutan, tetapi dari mencurigai niatnya. Seolah-olah demonstrasi publik hanya valid jika “murni,” dan begitu ada kemungkinan didanai atau diprovokasi, maka nilai tuntutan dan kritiknya batal.
Bupati KKT Ricky Jauwerissa, sebagai seorang politisi, seharusnya paham betul bahwa dalam dunia sosial-politik, tidak ada suara yang benar-benar steril. Bahkan negara pun berkampanye dengan logistik, uang, dan mobilisasi. Maka, mengukur validitas protes dari aspek pembiayaan atau motif, bukan dari substansi, adalah cara halus untuk mengabaikan isi pesan.
Yang ironis, lanjut Anders, Bupati KKT seringkali mengaku mencintai rakyat Tanimbar tetapi mencurigai suara rakyatnya sendiri. Ia ingin mendengar, tetapi tidak siap diinterupsi. Ia percaya pada hak, tetapi ingin mengatur ekspresinya. Lebih parah lagi, Bupati KKT jarang merespons langsung kritik tajam dari masyarakat Tanimbar, justru membiarkan tim komunikasi eksternalnya memainkan narasi kontra yang tidak sehat di ruang publik.
Mereka ibarat prajurit digital yang tugasnya membela tanpa berpikir dan menjadi tameng bagi kepentingan yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Asal pemimpinnya bicara, mereka manggut-manggut meskipun kebijakan itu kontroversial.
Bupati KKT Ricky Jauwerissa bicara tentang keadilan sosial, kesejahteraan, bahkan RT Mandiri untuk Tanimbar Maju, tetapi dalam waktu yang sama, ia mencurigai rakyat yang menyuarakan keresahannya. Seolah-olah demonstrasi dianggap sebagai alat perusak, bukan alarm.
Menutup pernyataannya, Anders menambahkan bahwa ini bukan sekadar gejala psikologis kekuasaan. Ia adalah tanda bahwa Bupati KKT Ricky Jauwerissa belum benar-benar percaya pada rakyatnya sendiri. Selama kepercayaan itu belum tumbuh, demokrasi di Tanimbar hanya akan menjadi pertunjukan, bukan perjumpaan. Pro Ecclesia et Patria, Pro Bono Publico, tutupnya. (KN-07)








