Oleh : Dr. Hobarth Williams Soselisa, S.Sos., M.Si.
Ambon, Kapatanews.com – Sidang Sinode ke-39 Gereja Protestan Maluku (GPM) bukanlah sekadar suksesi administratif lima tahunan. Bagi gereja yang telah menjadi suluh dan “rumah bersama” bagi masyarakat di Maluku dan Maluku Utara, ini adalah sebuah momen kairos—waktu Tuhan untuk mengevaluasi, mengoreksi, dan menetapkan arah baru. Di tengah dinamika internal yang hangat dan suara-suara jemaat yang beragam, GPM sedang mencari nahkoda baru untuk mengarungi lautan tantangan menuju satu abad pelayanannya.
Visi GPM begitu agung: “Menjadi Gereja Yang Berakar Di Dalam Tritunggal Allah Dan Bertumbuh Bersama Untuk Membela Dan Merawat Kehidupan.” Visi ini lahir dari rahim teologi yang kontekstual, di mana “kehidupan” di bumi Maluku harus terus-menerus dibela dari ancaman ketidakadilan, kemiskinan, dan perpecahan.
Di sinilah letak refleksi kritis pertama kita. Sebuah visi yang “pro-hidup” menuntut pimpinan yang integritasnya juga “pro-hidup”: menghidupi jemaat, bukan hidup dari jemaat. Suara-suara kritis yang muncul dari internal gereja, yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kepemimpinan yang bebas dari praktik koruptif, bukanlah sebuah ancaman. Itu adalah wujud cinta dan tanda bahwa jemaat merindukan gerejanya benar-benar menjadi sakramen Allah.
Kepemimpinan gereja tidak boleh menjadi “status quo” yang nyaman bagi segelintir elite, namun harus menjadi “status quo” yang radikal dalam meneladani Kristus. Jika ada persepsi di tengah jemaat—sekecil apa pun—mengenai adanya “pembohong” atau “pencuri” dalam struktur pelayanan, maka itu adalah sinyal darurat bahwa Visi GPM sedang dikhianati dari dalam.
Karena itu, standar bagi Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode yang baru tidak boleh diturunkan. Alkitab telah menetapkan standar yang jelas bagi seorang pemimpin. Dalam 1 Petrus 5:2-3, Rasul Petrus memberi nasihat: “Gembalakanlah kawanan domba Allah… jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari untung, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah… tetapi hendaklah kamu menjadi teladan…”
Maka itu Kepemimpinan GPM yang baru haruslah:
1) Seorang Gembala, Bukan Sekedar Manajer: Ia harus memiliki hati yang menggembalakan, yang mengenal bau dombanya. Prioritasnya adalah merawat kehidupan jemaat terutama yang ada di pulau-pulau terluar dan bukan hanya mengamankan birokrasi dan kekuasaan di Ambon.
2) Berintegritas Tak Bercela: Di tengah kritik tajam soal pengelolaan “kepeng jemaat,” pimpinan baru harus berani membuktikan bahwa GPM dikelola dengan integritas surgawi. Ia tidak boleh “serakah,” melainkan harus menjadi teladan dalam transparansi.
3) Inovatif dan Visioner: Tantangan zaman ini nyata. Gereja dihadapkan pada disrupsi digital, krisis ekologi, dan tantangan kebangsaan. Pimpinan baru harus bisa progresif, mampu menerjemahkan teologi “pro-hidup” ke dalam kebijakan gereja yang relevan, sekaligus tetap lantang menyuarakan keadilan sosial.
Harapan kita adalah agar Sidang Sinode ke-39 ini tidak menjadi sekadar ajang pertarungan politik antar kandidat. Harapan terbesarnya adalah agar proses ini menjadi momen penunjukan Tuhan atas gereja-Nya.
Siapapun yang terpilih, ia tidaklah mewakili faksi pendukungnya. Ia adalah milik GPM dan terutama milik Allah Sang Empunya Pelayanan. Pimpinan Sinode GPM yang baru harus menjadi jembatan yang menyatukan, sosok yang mampu merangkul mereka yang kritis, dan yang terutama, menjadi pelayan yang membuktikan bahwa GPM adalah gereja yang benar-benar merawat kehidupan.
GPM tidak butuh pemimpin yang hanya pandai beretorika soal visi. GPM butuh pemimpin yang menjadi manifestasi hidup dari visi itu sendiri. Dengan hati yang tetap takut akan Tuhan, kiranya pimpinan sinode yang baru akan mampu membawa GPM menjadi gereja yang sesuai dengan kehendak Allah dan tetap bersandar pada Moto Agung GPM : Aku Menanam, Apolos Menyiram tetapi Allah yang Memberi Pertumbuhan (KN-01)








