Saumlaki, Kapatanews.com – Pagi itu, gedung Sekolah Tinggi Teologi Injili Mahkota Sion Saumlaki (STTIMASS) terasa lebih ramai dari biasanya. Di lorong sempit yang menghadap halaman, langkah mahasiswa terdengar berulang, sebagian terhenti di depan pintu, sebagian lain menghirup napas panjang sebelum masuk ruang ujian. Cahaya matahari yang menembus kisi jendela mengenai wajah-wajah cemas yang berusaha tersenyum.
Dengan cuaca yang tak bersahabat hujan begitu deras, menyemangati mereka mengejar ilmu. Di dekat meja registrasi, seseorang sempat berkata pelan kepada temannya, “Saya tidak menyangka hari ini datang juga,” sambil merapikan map biru yang sudah mulai kusam di ujungnya. Suasana hening seketika saat pintu ruang ujian dibuka dari dalam, memberi isyarat bahwa peserta berikutnya dipanggil masuk.
Para mahasiswa datang sejak pagi sekali. Ada yang masih menyempurnakan presentasi, ada yang memejamkan mata sejenak di sudut tangga sambil merapal doa. Ujian skripsi, bagi banyak dari mereka, bukan cuma kewajiban akademik; ini semacam pintu keluar menuju masa depan yang selama ini mereka bangun pelan-pelan.
Di tengah hiruk pikuk itu, Ketua STTIMASS, Godfried D. Labatar, SE., M.Pd berdiri dengan wajah lega. Ia menyapa mahasiswa satu per satu, sesekali menepuk bahu mereka seolah ingin mengatakan bahwa perjalanan panjang itu sudah berada di ujungnya.
“Hari ini, ada mahasiswa Ekstension dan juga reguler. Ujian skripsi hari ini benar-benar mengangkat nama lembaga ini,” ungkapnya dengan nada bangga.
“Ternyata banyak guru yang telah mengabdi untuk daerah ini, memilih STTIMASS sebagai tumpuan, mengambil S1 dengan Program Studi Pendidikan Agama Kristen, dibagi per konsentrasi; PKGSD, PAUD, Manajemen Pendidikan, PAK, Sosiologi Kristen.” ujarnya dengan penuh harapan.
Di tempat itulah, rangkaian ujian skripsi digelar sejak 19 hingga 20 November 2025. Para penguji yang hadir berasal dari latar belakang akademik yang kuat: Dr. Wishnudanu Kencana, M.Th.; Pdt. Yusak Weriratan, S.Th., MA., M.PdK.; dan Selfisina Gessy, S.Th., M.PdK., Jacob Latuni, S.Th., M.Pd.K Keempatnya, dengan pendekatan khas masing-masing, membuat suasana ruang ujian bergerak antara tegang dan hangat secara bergantian.
Pada satu sesi, suara ketukan pena penguji terdengar jelas ketika seorang mahasiswa memaparkan penelitian mengenai dinamika pembelajaran di kelas-kelas terpencil. “Apa yang menjadi alasan saudara memilih lokasi itu?” tanya salah satu penguji, nadanya datar tapi tidak mengintimidasi. Mahasiswa itu menjawab pelan, namun mantap tentang tanggung jawab moral, tentang murid-murid yang tidak ingin ia biarkan tertinggal, dan tentang kerinduan mengubah cara mereka belajar.
Di sela-sela aktivitas, terlihat beberapa mahasiswa yang baru keluar dari ruangan langsung menatap langit seolah ingin mengeluarkan seluruh ketegangan dalam satu hembusan nafas. Ada yang berdiri lama di beranda belakang, merasakan angin laut yang datang membawa aroma asin yang khas.
Bagi sebagian besar dari mereka, kuliah di STTIMASS bukan keputusan yang lahir dari kenyamanan. Ada guru-guru honorer yang datang dengan motor tua, menempuh perjalanan dari desa, meninggalkan ruang kelas dan murid-murid yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Ada pula ibu rumah tangga yang membagi waktu di antara pekerjaan, keluarga, dan tuntutan tugas kuliah yang tidak selalu ramah.
“Ujian ini bukan untuk saya saja,” kata seorang mahasiswa Ekstension, sambil menunggu giliran. Ini untuk sekolah tempat saya mengajar, untuk anak-anak yang saya dampingi.” Kalimat itu diucapkan tanpa dramatika, namun terasa menancap kuat.
Di ruangan lain, suara presentasi terdengar berselang-seling. Beberapa penguji mencatat sesuatu, sesekali saling menatap, lalu melempar pertanyaan lanjutan. Nuansanya formal, tetapi tetap terasa bahwa para penguji ingin mahasiswa menemukan keyakinan pada setiap argumen yang mereka pilih.
Dokumen yang diperoleh wartawan, jumlah mahasiswa yang mengikuti ujian kali ini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lonjakan itu menandai satu hal penting: STTIMASS sedang menjadi rujukan baru bagi mereka yang ingin melengkapi kompetensi pendidikan agama Kristen dengan pendekatan yang lebih sistematis dan berbasis riset.
Kenaikan ini, menurut Ketua STTIMASS, bukan sekadar statistik. Ia menyebutnya sebagai tanda bahwa lembaga itu sedang mendapatkan kembali kepercayaan publik.
“Mereka datang karena melihat alumni kami bekerja dengan baik di lapangan,” ujarnya.
Dalam dinamika ujian, beberapa tantangan terlihat jelas. Ada mahasiswa yang kesulitan menjelaskan dasar metodologi, ada yang mencoba menahan gemetar saat menjawab sanggahan, dan ada pula yang hampir tidak menyadari bahwa waktu presentasinya telah habis. Tetapi justru dalam detik-detik semacam itu, karakter seorang calon sarjana terlihat.
Pada satu kesempatan, seorang penguji sempat berkata, “Saudara sudah memahami substansi, tapi coba jelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana.” Kalimat itu membuat mahasiswa tersebut menarik napas dalam-dalam sebelum mencoba lagi. Momen itu, sekilas tampak kecil, namun menjadi penanda bahwa proses akademik di STTIMASS tidak sekadar mengejar kelulusan.
Latar belakang para mahasiswa yang rata-rata sudah mengabdi sebagai guru memberi warna tersendiri. Mereka terbiasa menghadapi kelas, tapi tidak semuanya terbiasa menghadapi meja penguji. Ada kerendahan hati dalam cara mereka menjelaskan, sekaligus keteguhan ketika mempertahankan data yang sudah dikumpulkan selama berbulan-bulan.
Konflik utama dalam perjalanan akademik mereka bukanlah soal nilai, melainkan soal waktu dan keterbatasan fasilitas. Beberapa mahasiswa mengakui bahwa mereka mengerjakan skripsi di sela mengajar, bahkan ada yang menyusun bab-bab penelitian di malam hari saat listrik baru kembali menyala. Cerita-cerita seperti itu muncul di sela obrolan kecil di teras kampus.
Namun, dibalik semua keterbatasan itu, harapan tetap menjadi motor utama. Banyak yang mengatakan bahwa mereka ingin menjadi “guru yang tidak hanya mengajar, tapi membimbing.” Ada juga yang ingin membuka kelas-kelas kecil di gereja atau membentuk kelompok belajar di desa mereka masing-masing.
Menjelang sore, saat rangkaian ujian hari pertama selesai, halaman kampus mulai lengang. Hanya tersisa suara kursi disusun, pintu ditutup, dan langkah penguji yang menyisakan gema pendek di koridor. Di hari berikutnya, ritme itu akan berulang, tetapi dengan semangat mahasiswa baru yang menunggu giliran.
Di penghujung acara, Godfried Labatar kembali memberikan pernyataan singkat. Ia menyebut ujian tahun ini sebagai “cermin perjalanan panjang lembaga” dan berharap mahasiswa dapat membawa nilai-nilai integritas serta pelayanan ke mana pun mereka melangkah.
Perjalanan sekelompok pendidik yang memilih tetap belajar meski hidup sering kali bergerak tidak sejalan dengan harapan. Di kampus kecil itu, harapan dibangun bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan kerja pelan-pelan, serupa nyala lilin yang tidak padam meski angin malam terus bergerak. (KN-07)








