Place Your Ad
Place Your Ad
Opini

Menjaga Marwah Kepemimpinan: Dinamika Koalisi Lawamena dan Tanggung Jawab Politik di Maluku

×

Menjaga Marwah Kepemimpinan: Dinamika Koalisi Lawamena dan Tanggung Jawab Politik di Maluku

Sebarkan artikel ini
Foto : Dr. Hobarth. W. Soseslisa.S.Sos, M.Si, Akademisi UKIM Ambon

Oleh : Dr. Hobarth Williams Soselisa, S.Sos., M.Si.

Ambon, Kapatanews.com – Keluarnya Abdullah Vanath dari komitmen koalisi Lawamena—meskipun belum disertai pernyataan resmi—menjadi dinamika politik yang menguji stabilitas pemerintahan Provinsi Maluku. Pernyataan Vanath yang cenderung merendahkan kepemimpinan koalisi ini mencerminkan ketegangan internal yang berpotensi menggerus legitimasi pemerintahan di mata publik.

Dari perspektif teori politik, fenomena ini dapat dianalisis melalui kerangka koalisi partai politik ala Arend Lijphart, yang mengklasifikasikan koalisi menjadi enam jenis, seperti Minimal Winning Coalition dan Policy-Viable Coalitions, di mana kestabilan bergantung pada keseimbangan minimal ukuran, jangkauan ideologis, dan konektivitas antar aktor.

Koalisi Lawamena, sebagai bentuk aliansi pragmatis di tingkat daerah, rentan terhadap fragmentasi ketika loyalitas elit terganggu, sebagaimana terlihat dalam dinamika Pilkada lokal yang sering mengabaikan koalisi nasional demi kalkulasi oportunis antar elite.

Teori kekuasaan politik Michel Foucault pun relevan di sini, di mana kekuasaan bukan sekadar hierarki formal, melainkan jaringan relasi yang rapuh jika etika dan norma perilaku tidak dijaga, sehingga memicu krisis kepercayaan publik terhadap visi pembangunan bersama.

Secara praktis, Gubernur Hendrik Lewerissa dihadapkan pada dilema pengelolaan kewenangan wakil gubernur yang telah diatur ketat oleh undang-undang, sehingga pendekatan paling santun adalah membatasi ruang gerak wagub dalam ranah nilai, perilaku, dan etika jabatan. Langkah ini bukan pemaksaan administratif, melainkan manifestasi kepemimpinan politik yang menjunjung prinsip amanah, sebagaimana ditegaskan dalam teori tata kelola koalisi yang menekankan pengelolaan konflik internal untuk mempertahankan efektivitas pemerintahan daerah.

Dengan demikian, respons gubernur menjadi instrumen untuk memulihkan harmoni koalisi tanpa melanggar batas hukum, sekaligus memperkuat fondasi moral kekuasaan publik.

Lebih jauh, peristiwa ini menggarisbawahi urgensi komunikasi politik dan manajemen konflik dalam koalisi daerah, di mana kegagalan koordinasi dapat menghambat pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik.

Penguatan transparansi serta pemeliharaan loyalitas elit menjadi pilar utama, sebagaimana dibuktikan dalam pola koalisi Pilkada yang dinamis dan bergantung pada negosiasi pragmatis.

Dalam konteks Maluku, keseimbangan etika jabatan dan tanggung jawab politik terhadap rakyat harus dijadikan prioritas untuk memastikan keberlanjutan pemerintahan yang harmonis.

Situasi ini bukan sekadar friksi personal, melainkan cerminan kompleksitas kekuasaan daerah yang menuntut keteladanan kolektif. Sikap bijaksana gubernur dalam membatasi ruang etika wagub akan mempertahankan kredibilitas koalisi Lawamena, sekaligus membangun kepercayaan publik sebagai modal utama kemajuan Maluku yang berkelanjutan dan bermartabat. (Redaksi)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad