Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Berita

300 KK Soa Luri Akan Sweri Bandara, Pemda Tanimbar Diduga Lalai

×

300 KK Soa Luri Akan Sweri Bandara, Pemda Tanimbar Diduga Lalai

Sebarkan artikel ini
Oplus_16908288

Saumlaki, KapataNews.com – Ketegangan kian memuncak di kawasan Bandara Mathilda Batlayeri, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Sebanyak 300 Kepala Keluarga (KK) dari Soa Luri Katutuan, Desa Tumbur, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar menyatakan rencana untuk melakukan Sasi Adat atau Sweri dalam waktu dekat.

Langkah adat ini akan mereka tempuh sebagai bentuk protes atas ketidakjelasan dan kelambanan Pemerintah Daerah (Pemda) Kepulauan Tanimbar dalam menyelesaikan hak-hak ulayat mereka yang telah berlarut selama puluhan tahun.

Scroll Keatas
Example 300x600
Scroll Kebawah

Soa Luri Katutuan merupakan salah satu kelompok adat yang sah secara kultural dan genealogis, beranggotakan sekitar 300 KK. Mereka adalah pemilik sah hak ulayat atas sebagian lahan yang kini menjadi lokasi pembangunan Bandara Mathilda Batlayeri.

Lahan tersebut awalnya dilepaskan seluas 350 hektar berdasarkan surat pelepasan dari tahun 2002. Namun, hasil pengukuran ulang oleh tim Soa Luri Katutuan beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa luas lahan telah membengkak menjadi 375 hektar akibat perubahan posisi patok saat pemasangan pagar bandara.

Ais Malindar, perwakilan tim Soa Luri Katutuan, menyatakan kegeraman mendalam atas pengabaian yang terus-menerus mereka alami.

“Kami sudah berkali-kali mengadakan pemeriksaan pal-patokan lahan, menghadirkan Pemda, UPBU, Polsek, dan instansi terkait, tapi hasilnya selalu diam dan membisu. Ini pelecehan terhadap hak adat kami,” tegas Ais kepada KapataNews.

Rencana pelaksanaan Sweri/Sasi Adat akan dilakukan dalam waktu dekat, tepatnya di titik-titik strategis pada kawasan Bandara Mathilda Batlayeri, khususnya di areal yang menurut mereka sudah melampaui batas pelepasan yang sah. Titik-titik tersebut akan ditandai secara adat dengan simbol larangan aktivitas tertentu, sesuai aturan adat setempat.

Meski begitu, mereka menegaskan tidak akan mengganggu aktivitas penerbangan. Namun, akan diberlakukan pengecualian pada prosedur keberangkatan dan kedatangan penumpang.

Kekecewaan masyarakat bermula dari sikap Pemda Kepulauan Tanimbar yang dianggap tidak serius menyelesaikan hak-hak masyarakat adat. Salah satu pokok masalah adalah surat pelepasan lahan bandara tahun 2002 yang tidak ditandatangani oleh pihak Soa Luri Katutuan sebagai pemilik sah sebagian lahan. Mereka juga menuntut agar surat pelepasan itu dipecah menjadi dua: satu oleh Desa Lorulun dan satu oleh Desa Tumbur.

Lebih jauh, Pemda Kepulauan Tanimbar juga disebut masih memiliki hutang pembayaran ganti rugi tanaman masyarakat sejak tahun 2002 hingga kini belum dilunasi. Termasuk pula pembebasan lahan jalan masuk menuju apron AURI yang sudah tuntas dari pihak AURI, namun masih belum diselesaikan oleh Pemda sejak 2019.

“Kami ini bukan minta lebih, kami hanya minta yang menjadi hak kami. Kalau pemerintah tidak bisa menghormati hak adat, maka kami harus berdiri membela martabat kami,” ujar Ais Malindar geram.

Tim perwakilan Soa Luri Katutuan sudah berulang kali berupaya melakukan mediasi melalui berbagai cara. Mulai dari pemeriksaan ulang patok bersama instansi terkait, hingga Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPRD Kepulauan Tanimbar. Dalam rapat itu, DPRD bahkan telah mengeluarkan rekomendasi agar Pemda KKT mempercepat penyelesaian persoalan bandara, dengan menghadirkan instansi seperti BPN, UPBU, dan tim aset.

Namun, rekomendasi itu pun tak kunjung ditindaklanjuti. Bahkan BPN disebut-sebut masih meneruskan proses sertifikasi lahan meskipun persoalan hak pelepasan belum final. Soa Luri Katutuan meminta agar BPN menangguhkan seluruh proses legalisasi hingga persoalan pelepasan dan pembayaran hak tanaman selesai secara sah.

Sebagai bentuk tekanan terakhir, 300 KK dari Soa Luri Katutuan bersepakat untuk menegakkan sanksi adat berupa Sweri. Tradisi ini dalam konteks Maluku memiliki kekuatan hukum adat dan mengandung konsekuensi sosial bagi pihak yang melanggar. Sweri akan diberlakukan sebagai simbol peringatan keras, namun tetap tidak dimaksudkan untuk menghentikan total aktivitas penerbangan.

“Kami sudah terlalu sabar. Kalau tidak ada itikad baik dari pemerintah, maka adatlah yang akan bicara. Kami tidak akan merusak, tapi kami akan memberi batasan. Jangan anggap kami tidak tahu hukum. Hukum negara pun lahir dari adat,” tutup Ais Malindar tegas.

Catatan Redaksi: KapataNews akan terus memantau perkembangan situasi ini dan menghubungi pihak Pemda KKT, UPBU, dan BPN untuk memperoleh tanggapan resmi terkait tudingan masyarakat. Sengketa lahan adat dan pembangunan strategis nasional semestinya diselesaikan secara bermartabat, tanpa mengorbankan nilai-nilai kearifan lokal. (KN-07)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad