Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
BeritaSeni & Budaya

Dewesy, Pelarian Terakhir Nan Haru Ke Mamala.

×

Dewesy, Pelarian Terakhir Nan Haru Ke Mamala.

Sebarkan artikel ini

Ambon,Kapatanews.com._

“Orang berlomba

Scroll Keatas
Example 300x600
Scroll Kebawah

Aku berlomba

Aku membuat satu pelarian terakhir”

—–

Jalan hidup Dominggus Willem Syaranamual (Dewesy) laksana drama pendek namun padat. Pattimura Muda dari Saparua ini menoreh sejarahnya yang getir, mengharukan sekaligus manis. Ia berjuang melalui tulisan-tulisan yang sastrawi.

Puisi terakhirnya berjudul Pelarian Terakhir bagai nubuat untuk sebuah pelarian abadi ke Negeri Mamala. Ia memang pelaku sejarah yang layak dikenang sepanjang masa.

Dewesy lahir di Itawaka, Saparua, 19 Mei 1926. Ayahnya Dorotheis Syaranamual dan ibunya Jacoba Supusepa, petani Itawaka nan sederhana, namun sangat kukuh menanam budi pekerti kepada puteranya. Hasilnya, Dewesy tumbuh sebagai pemuda yang halus budinya namun kuat dalam pendirian.

Demi studinya, Dewesy rela meninggalkan ayah-bunda, dan tinggal bersama ibu angkatnya di Ihamahu. Setamat Sekolah Rendah Ihamahu tahun 1938, Dewesy masuk Sekolah Pertanian Ihamahu. Akan tetapi cita-cita menjadi guru membuatnya pindah ke sekolah guru Volks Onderwyser Saparua. Lulusannya bisa langsung mengajar di sekolah rendah.

Sekolah guru Volks Onderwyser Saparua pada tahun 1940-1941, pelajaran hanya berjalan enam bulan karena Jepang datang menggantikan Belanda. Sekolah ditutup dan baru dibuka kembali tahun 1943. Pada saat itu, Jepang menguasai Ambon. Tentara sekutu datang menyerang Jepang sehingga Ambon hancur lebur, penuh teror.

Melihat situasi perang, Mohammad Malawat dan sepupunya Hasan Malawat dikirim orang tua mereka ke Saparua, sehingga mereka bertemu Dewesy. Mohammad bahkan sebangku dengan Dewesy. Siswa beragama Islam hanya Malawat bersaudara, Said Latar, Muhammad Haulussy, dan Arsyad Masaila.

 

“Siswa Muslim cuma saya dan empat lainnya,” terang Hasan Malawat, dalam suatu wawancara semasa hidupnya, tiga tahun lalu.

Dari pergaulan di sekolah guru itulah, Hasan mengaku mengetahui jiwa kepenyairan yang tumbuh mekar pada diri Dewesy dkk. “Mereka semua penyair, tapi Dewesy yang paling menonjol. Jiwanya bagus, buah pikirannya bagus,” ungkapnya. Menurut kesaksian Hasan, Dewesy dkk senantiasa menulis puisi propaganda demi kemerdekaan Indonesia.

Tidaklah heran, mereka kerap berurusan dengan Kantor Kempetai di Saparua. Maka demi mengelabui Kempetai, Dewesy dkk menggunakan nama samaran. “Syaranamual pakai nama samaran Dewesy, Arsyad Masaila memakai nama Ars, Jop Lisapaly bernama Josy sedangkan Mohammad Malawat memakai nama Mom. Mereka semua penyair sejak masa sekolah. Tapi yang paling menonjol adalah Dewesy,” kenang Hasan.

Kiprah kepenyairan Dewesy sudah tumbuh pada usia 16-17 tahun. Dari Saparua, ia mengirim puisinya ke Ambon. Puncak karyanya terekam pada tahun 1949, dalam usia 23 tahun. Pada masa ini, karya-karyanya dimuat di media terbitan Jakarta.

Sebelumnya ketika menjadi pegawai Kantor Cabang Kementerian Penerangan Negara Indonesia Timur (NIT) di Ambon tahun 1946, Syaranamual berusia 20 tahun. Saat inilah ia banyak menulis di surat kabar Suluh Ambon dan majalah Zaman Baru.

Jika pada masa Jepang, Dewesy dkk sering diinterogasi Kempetai, maka setelah Indonesia merdeka, tulisan-tulisan Dewesy justru mengundang amarah para bekas tentara KNIL yang mendukung  Republik Maluku Selatan (RMS). Ceritanya, ketika masih ada RI dan NIT, ada kelompok Eliza  Urbanus Pupella, Ot Pattimaipau, Amin Ely dkk yang berorientasi pada NKRI melalui surat kabar Masa.

Sedangkan Dewesy dkk di surat kabar Suluh Ambon berorientasi pada NIT. Walau beda orientasi politik, kedua kelompok tetap saling menjalin relasi dan komunikasi.

Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag ditandai dengan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, kelompok Dewesy dan Pupella malah menjadi musuh RMS, sebab keduanya sama-sama menentang Proklamasi RMS.

Militair Inlechting Dien (MID) yakni tentara RMS yang dikenal dengan sebutan baret merah-baret hijau makin bringas. Mereka menguasai Ambon. Wem Reawaru dari kelompok Pupella ditangkap, lantas disiksa secara keji sampai mati. MID juga mengincar Dewesy. Sebab itu Dewesy dikejar sebagai buronan.

Ia terus meloloskan diri, tapi kawannya yang memberi tumpangan dan perlindungan, justru menjadi korban. Tahun 1950, Dewesy tinggal bersama keluarga Tuapattinaya di kawasan Benteng. Rumah itu terus diintai tentara MID. Makanya, supaya tak jatuh lagi korban, Dewesy memilih mengungsi ke Kubur Cina di Gunung Nona.

Dalam kondisi lelah, lapar kedinginan dan sakit, penyair yang saat itu berusia 24 tahun menulis puisi berjudul Pelarian Terakhir. Dengan mengendap-endap, puisi itu dititipkan kepada seorang wartawan surat kabar Suluh Ambon, melalui jendela kantor redaksi.

Esoknya, surat kabar itu memuat puisi Pelarian Terakhir. Kali ini, tidak lagi menggunakan nama samaran Dewesy, melainkan terang-terangan menggunakan nama lengkap Dominggus Willem Syaranamual.

Alhasil, hari itu juga, datanglah tentara MID memporakporanda kantor redaksi Suluh Ambon. Beberapa jurnalis dipukul sampai bersimbah darah. Suluh Ambon pun dilarang terbit.

Melihat situasi genting dan tak ada tempat aman untuk bernaung, Dewesy teringat sahabat karibnya Mohammad Malawat di Mamala. Maka setelah lewat tengah malam, dari pantai Benteng, Ia mendayung perahu ke Rumahtiga. Dari situ, barulah ia berjalan kaki memasuki hutan Rumahtiga dan sampai di Mamala.

Perjalanan ini membuat kondisi kesehatannya memburuk. Apalagi, dalam perjalanan, ia hanya minum air kelapa muda. Penyakit malaria yang dideritanya kumat dan disentri pun menyerang.

Sebenarnya, pelariannya ke Mamala ini bukanlah pengalaman pertama mencapai negeri itu. Mohammad sudah sering mengajak Dewesy ke Mamala.  Dewesy bahkan akrab dengan penduduk Mamala, yang juga bersimpatik kepadanya.

Namun kali ini, Dewesy tidak punya kesempatan bergaul dengan orang Mamala sebagaimana kedatangannya pada hari-hari yang lain. Sebab, begitu tiba di Mamala, Dewesy langsung masuk kamar dan terbaring sakit. Malaria berat dan diare itulah yang membuatnya jadi lemah dan payah.

Orang Mamala berjuang mengobati sakitnya, tapi kondisi Dewesy tidak tertolong. Ia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Mohammad, pada 22 November 1950, tiga hari setelah tiba di Mamala.

Warga Muslim Mamala lantas mengurus jenazah Dewesy untuk dimakamkan. Mereka sempat menemukan naskah tulisan tangan puisi Pelarian Terakhir, di saku kemeja Dewesy.

Pekerjaan memandikan jenazah, membuat keranda, mengusung ke pemakaman dan menurunkan ke liang lahat, dilakukan oleh warga Muslim. Di Mamala saat itu, terdapat beberapa guru Kristen yakni Talakua, Soselissa, Siahaya dan Lainsamputty. Merekalah yang menyiapkan ibadah pemakaman menurut tata ibadah Gereja Protestan Maluku (GPM).

Ibadah pemakaman dipimpin Guru Siahaya. “Orang Mamala senang dengan Syaranamual. Sebab budi pekertinya bagus, pembawaannya bagus dan tulisannya juga manis dan tajam,” ujar Hasan.

Menurut catatan Takaria, Dewesy punya seorang kekasih bernama Nona Jo. Asmara Dewesy dan Nona Jo, bahkan sudah terjalin sejak masih sekolah guru di Saparua.

Keduanya tetap saling setia walau tidak sampai ke jenjang pernikahan. Nona Jo dan orang tua Dewesy sempat datang ke Mamala. Mereka tak bertemu Dewesy, melainkan hanya selembar foto profil Dewesy yang dibawa pulang. Karena Dewesy mati bujang, Nona Jo pun pindah ke Bandung dan membujang sampai usia senja.

 

KARYA.

———-

Setelah Dewesy tiada, beberapa usaha telah dilakukan untuk mengabadikannya, selain makamnya di Mamala. Ada beberapa buku pernah diterbitkan untuk mendokumentasikannya.

Buku Balada dari Mamala ditulis Teon Teuno, diterbitkan sebagai buku pelengkap pelajaran PGSMTP Negeri Ambon tahun 1988/1989. Teon Teuno adalah nama samaran penulis dan wartawan Jop Lasamahu. Lasamahu pernah menjabat Pemimpin Redaksi harian Suara Maluku dan Ketua PWI Maluku. Buku karangannya pernah menjadi pegangan para pelajar dan mahasiswa di Maluku.

Dosen dan perempuan penyair Marianna Lewier menulis skripsi strata satu di FKIP Unpatti Ambon. Judulnya, Puisi-Puisi Karya Dominggus Willem Syaranamual, Suatu Tinjauan Semiotika Sosial (1993). Terakhir, tahun 2008, muncul Biografi Dominggus Willem Syaranamual yang ditulis Drs D. Takaria.

Pusat Dokumentasi Sastra HB Yasin di Taman Ismail Marzuki Jakarta, mendokumentasikan sebagian besar karya Syaranamual. Dari sini, barulah diketahui sang penyair sudah punya akses dengan media-media Jakarta, pada masa pasca kemerdekaan yang belum lancar sarana transportasi dan komunikasinya.

Karya-karya Dewesy yang sempat terdokumentasikan adalah Sesudah Aku Hamil (prosa di Majalah Siasat, 1949), naskah drama Ibu Angkat (belum sempat dipublikasi), dan puisi-puisi Ada Satu Cerita (Siasat, 1949), Kita Hanya Satu (Mimbar Indonesia, 1949), Musim Cengkih (Siasat, 1949),  Pasang-Surut (Mimbar Indonesia, 1949), Sumpah (Mimbar Indonesia, 1950), Surat dari Laut (Mimbar Indonesia, 1949) dan Pelarian Terakhir (Suluh Ambon, 1950). Puisi dan prosa lainnya tersebar di majalah Zaman dan surat kabar Suluh Ambon, namun tidak terdokumentasikan.

Puisi Pelarian Terakhir bukan saja terkenal karena menjadi karya terakhirnya, tetapi juga menyimpan kisah heroik dan pergulatan batin yang utuh. Penyair Roy Lemosol sempat membacakannya di atas tanah makam, Jumat (29/8) lalu, saat upacara peletakan batu pertama pemugaran makam.

 

PELARIAN TERAKHIR

——

Baru saja terang membenam hari

Membayang lagi mega merah asap kebakaran

Membawa makluk lari berlepas diri

Pilih ! Mati atau hidup

Di sini masih ada orang kuat lari

Berlomba dengan maut

Sedang aku berharap dengan laut

Aku turun ke laut

Tapi bukan anak laut

Aku mau tamatkan ini lembaran

Dalam kelam hari

Biar dengan pedoman

Pada hanya sebuah bintang

Yang lagi bercahaya

Orang berlomba

Aku berlomba

Aku membuat satu pelarian terakhir

Ambon, 1950


*Tulisan ini adalah Catatan Rudi Fofid – Ambon, tayang perdana pada MALUKU ONLINE, 4/09/2014.

*Photo by Riddo Jalmaf.

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad