Ambon,Kapatanews.com._ Isu tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang kini viral menyasar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Padahal aktivitas tambang ini berakar dari kebijakan lintas rezim selama 27 tahun.
Ironisnya, sorotan baru muncul setelah Bahlil, yang menjabat belum genap setahun, dan membekukan operasi PT Gag Nikel untuk verifikasi lingkungan, justru mendapat tudingan sebagai aktor yang paling bersalah.
Tulisan ini mengurai sejarah panjang tambang tersebut, dan mencoba menghadirkan perspektif yang lebih objektif. Pertanyaannya, kenapa lagi-lagi menteri dari Partai Golkar ini menjadi “martir” dalam narasi politik yang lebih besar.
Gemuruh kritik terhadap Bahlil Lahadalia terkait tambang nikel Pulau Gag, sudah sangat tendensius dan mengabaikan fakta sejarah krusial, bahwa operasi pertambangan ini sudah berjalan legal melalui kebijakan empat presiden sejak 1998. Jauh sebelum era Presiden Prabowo Subianto.
Jejak legitimasi hukum terkait tambang Pulau Gag, Raja Ampat, semestinya mudah ditelusuri. Operasi PT Gag Nikel bukan produk kebijakan mendadak, melainkan akumulasi keputusan strategis lintas empat presiden sebelumnya.
Di mulai era Presiden Soeharto, Kontrak Karya Generasi VII ditandatangani pada 18 Februari 1998. Kontrak ini memberikan konsesi lahan seluas 13.136 hektar di Pulau Gag. Keputusan ini menjadi legal standing beroperasinya tambang di wilayah tersebut.
Era Megawati Soekarnoputri, ditandatangani Keppres No. 41/2004 yang mengamankan PT Gag Nikel dari UU Kehutanan No. 41/1999. Perusahaan ini termasuk dari 13 entitas tambang yang diizinkan tetap beroperasi di hutan lindung karena kontraknya lebih dulu ada sebelum UU Kehutanan No.41/1999 berlaku. Salah satu pasal dari UU Kehutanan yang mendapat diskresi dari Keppres ini yakni; hutan lindung tidak boleh ditambang secara terbuka.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kementerian ESDM mengeluarkan Persetujuan Kelayakan Usaha Tambang pada 4 Agustus 2014. Kemudian disusul Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) pada tahun 2015.
Kemudian era Presiden Joko Widodo, Izin Operasi Produksi resmi terbit pada 30 Desember 2017 (No. 430.K/30/DJB/2017). Setelah semua perizinan kelar, aktivitas tambang baru dimulai pada 2018 dengan target produksi bijih nikel saat itu 2,5 juta ton/tahun.
Catatan kritisnya, seluruh izin diatas diterbitkan sebelum Bahlil Lahadalia dilantik sebagai Menteri ESDM pada 19 Agustus 2024. Tudingan terhadap Bahlil sebagai “aktor perusak lingkungan” mengundang pertanyaan serius, kenapa LSM baru bersuara setelah 7 tahun tambang beroperasi di Pulau Gag?
Tidak ada protes saat terbit Izin Operasi Produksi (2017), atau ketika produksi dimulai (2018). Greenpeace diam seribu bahasa saat IPPKH diterbitkan (2015). Tapi dalam sepekan terakhir, Greenpeace dan LSM tiba-tiba sadar lingkungan setelah 7 tahun operasi tambang Pulau Gag berjalan.
Pendapat saya, ini semacam isu orderan yang mengisi masa transisi politik, menjadi “trigger” revitalisasi issu lama dengan menjadikan orang tidak bersalah sebagai aktor utama.
Kelemahan dari argumentasi aktivis, semestinya tuduhan pelanggaran UU Pulau Kecil (UU No. 27/2007) disampaikan sejak 2015, saat IPPKH diterbitkan. Bukan baru sekarang, dimana issunya mendadak dimobilisasi secara massif, sistematik, namun sangat politis.
Dari perspektif saya, Bahlil hanyalah kambing hitam atau target politik. Di saat dia mengambil langkah progresif dengan membekukan sementara operasi PT Gag Nikel pada 5 Juni 2025 untuk audit lingkungan, justru dia dijadikan “scapegoat”.
Dua analisis politik yang patut dipertimbangkan untuk membaca masalah ini. Saat masih menjabat Menteri Investasi/Kepala BKPM RI, Bahlil mencabut 2.078 izin tambang bermasalah, melakukan pengetatan aturan ekspor mineral yang mengusik oligarki tambang, serta membatalkan proyek smelter fiktif senilai Rp300 triliun.
Pencapaian Bahlil menjadi Ketum Partai Golkar melampaui ekspektasi banyak orang, termasuk sejumlah petinggi partai. Seorang anak kampung dari timur dengan nasab tidak jelas, bisa menjadi pemuncak partai pemenang kedua di republik ini.
Ibarat kata, posisi politik Bahlil yang kuat akan mengancam kartel tambang sehingga dia perlu dilemahkan. Bila perlu, serangan itu datang dari delapan penjuru mata angin.
Polemik tambang nikel Pulau Gag, Raja Ampat, adalah drama politik berbalut isu lingkungan. Menyerang Bahlil yang justru berusaha mengoreksi warisan masalah 27 tahun adalah tindakan “ahistoris”. Presiden Prabowo memerlukan figur seperti Bahlil, sosok yang tegas terhadap korporasi nakal, namun peka terhadap kebutuhan riil masyarakat.
Agenda mendesak yang akan menjadi solusi berkeadilan hanya mungkin tercapai bila kita berani membongkar akar masalah, warisan sistem tambang yang koruptif, bukan sebaliknya menjadikan Bahlil sebagai “martil” dalam pertarungan kuasa.
Presiden Prabowo membutuhkan lebih banyak Bahlil, menteri yang berani menghancurkan oligarki tambang meski dihujani fitnah. Jangan biarkan Raja Ampat menjadi tumbal dalam konspirasi politik para elite.
—–
Ditulis oleh Muhammad Aziz Tunny, Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD),Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Maluku.
Editor : Redaksi.