Saumlaki, Kapatanews.com – Kasus tewasnya sopir ojek online (OJOL) bernama Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta Pusat, Kamis (28/8), mengguncang nurani bangsa. Peristiwa tragis ini memicu gelombang amarah publik hingga ke pelosok daerah. Badan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (BPC GMKI) Saumlaki menyatakan sikap keras, menuding POLRI bukan lagi pelindung rakyat, melainkan pembunuh rakyat kecil.
Tragedi ini bermula saat aparat kepolisian melakukan pengamanan aksi massa di Jakarta Pusat. Di tengah kerumunan, sebuah kendaraan taktis Brimob justru melaju dan melindas Affan yang sedang berada di jalan, hingga tubuhnya remuk tanpa ampun. Nyawa pria yang sehari-hari menggantungkan hidup sebagai ojol itu terenggut seketika.
Menurut GMKI Saumlaki, tindakan aparat tersebut bukanlah kecelakaan biasa, melainkan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang nyata. Iskander Amarduan, Pj. Ketua GMKI Saumlaki, dengan lantang menegaskan bahwa peristiwa ini adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. “Seharusnya polisi menjaga keamanan dan melindungi masyarakat, bukan justru merenggut nyawa rakyat kecil,” ujarnya dengan suara bergetar.
GMKI Saumlaki mempertanyakan: apakah POLRI masih bisa disebut pengayom, pelayan, dan pelindung, atau justru telah bertransformasi menjadi alat pembunuh rakyat? Bagi mereka, Affan adalah simbol ketidakberdayaan masyarakat sipil di hadapan arogansi aparat bersenjata.
Dalam pernyataan sikap resminya, GMKI Saumlaki menegaskan lima tuntutan. Pertama, mendesak Kapolri mengusut tuntas kasus tewasnya Affan secara transparan. Kedua, menuntut pertanggungjawaban hukum bagi seluruh anggota Brimob yang terlibat tanpa tebang pilih. Ketiga, meminta Presiden RI Prabowo Subianto menjamin investigasi independen. Keempat, menolak segala bentuk kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil. Kelima, mengajak mahasiswa di seluruh Indonesia bersolidaritas menuntut keadilan.
“Nyawa Affan adalah bukti betapa mudahnya nyawa rakyat kecil hilang hanya karena kesewenang-wenangan aparat. Jika negara terus membiarkan polisi menindas rakyat, maka keadilan di negeri ini hanya tinggal ilusi,” tambah Iskander Amarduan dengan nada murka.
GMKI Saumlaki menilai bahwa tragedi ini bukan hanya persoalan individu, tetapi cerminan bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Aparat yang seharusnya tunduk pada konstitusi, kini justru menjadi ancaman nyata bagi masyarakat yang seharusnya mereka lindungi.
Di sisi lain, masyarakat luas juga merasakan ketakutan. Kasus Affan menambah daftar panjang kekerasan aparat terhadap rakyat. Rakyat kini bertanya-tanya, apakah mereka masih aman berjalan di jalan raya, ataukah setiap kendaraan taktis bisa menjadi mesin maut yang merenggut siapa saja tanpa pertanggungjawaban.
Gelombang kritik semakin deras membanjiri institusi kepolisian. Organisasi mahasiswa, aktivis HAM, hingga masyarakat sipil mendesak agar tragedi ini tidak ditutup begitu saja. Mereka mengingatkan bahwa jika kasus ini didiamkan, kepercayaan publik terhadap POLRI akan hancur tak tersisa.
GMKI Saumlaki menyatakan siap menggelar aksi solidaritas di Saumlaki sebagai bentuk tekanan moral. Mereka mengingatkan, darah Affan tidak boleh menjadi angka statistik belaka, melainkan harus menjadi penanda perlawanan rakyat terhadap penindasan aparat.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Seruan itu bergema dari Saumlaki, menandai bahwa tragedi Affan kini bukan lagi milik keluarganya saja, melainkan simbol perlawanan seluruh rakyat terhadap kekuasaan yang membunuh.
Kasus Affan adalah luka bangsa. Di balik tubuhnya yang hancur dilindas kendaraan Brimob, terukir pertanyaan besar: apakah POLRI akan terus menjadi pelindung rakyat, ataukah sejarah akan mencatatnya sebagai pembunuh yang berbalut seragam negara? (KN-07)