Saumlaki, Kapatanews.com – Di bawah langit jingga senja, ombak Laut Seira bergulung perlahan, membawa sisa cahaya keemasan yang memantul di permukaan air. Markus, nelayan berusia 47 tahun, berdiri di atas perahunya yang tua. Matanya menatap jauh ke cakrawala ke arah laut yang dulu menjadi sahabat, kini terasa semakin asing. “Kalau laut ini hilang, kami pun ikut hilang,” katanya pelan.
Perjalanan ke Seira bukan sekadar menyeberangi laut, melainkan menembus waktu. Dari dermaga Saumlaki, kapal kayu kecil membawa penumpang melintasi Laut Banda, menantang angin yang berhembus dari selatan. Setibanya di Seira, udara asin bercampur aroma kayu basah dan rumput laut kering. Di sanalah, kehidupan bergantung pada ombak yang tak pernah berhenti bernafas.
Bagi warga Seira, laut bukan sekadar hamparan biru. Ia adalah ibu yang memberi makan, guru yang mendidik, dan pelindung yang diwariskan turun-temurun. Hampir seluruh keluarga di pulau ini menggantungkan hidup dari hasil laut. Ikan kerapu, kakap, dan cakalang menjadi penghidupan utama, sedangkan telur ikan terbang adalah kebanggaan yang mengangkat nama Seira hingga ke pasar-pasar Ambon dan Surabaya.
“Kalau laut tenang, rezeki juga datang,” tutur Sadrak, nelayan yang wajahnya legam terbakar matahari. Tangannya yang kasar memegang tali kapal seolah menjaga nasib yang diikat bersama gelombang.
Namun, di balik ketenangan itu, bahaya mengintai. Kapal-kapal besar dari luar daerah, bahkan luar negeri, datang malam-malam tanpa izin. Mereka mengeruk telur ikan terbang dengan alat modern, meninggalkan nelayan lokal yang hanya bisa menatap dari kejauhan. “Kami cuma bisa lihat lampu mereka di tengah laut, makin malam makin banyak,” keluh Markus, lirih.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku tahun 2023 mencatat, potensi telur ikan terbang di Seira mencapai 40 ton per musim senilai Rp35 miliar per tahun. Tapi angka itu hanya di atas kertas. Bagi nelayan Seira, keuntungan besar itu hanya tinggal cerita, karena hasil bumi mereka diambil tanpa izin, tanpa rasa malu.
Laut Seira sejatinya adalah surga yang masih tersembunyi. Gugusan pulau Wuryaru, Selu, Kesbui, Sabal, Sukler, dan Yayaru mengelilinginya bak kalung zamrud di leher lautan. Di bawah permukaannya, terumbu karang tumbuh subur, menjadi rumah bagi ratusan spesies ikan endemik. Menurut Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Saumlaki (LPSPL), wilayah ini adalah kawasan dengan biodiversitas laut tertinggi di Maluku tenggara.
“Wilayah ini termasuk paru-paru laut Tanimbar,” ungkap seorang peneliti LPSPL. “Karang dan lamun di sini masih alami belum tercemar parah seperti di tempat lain.”
Namun kini paru-paru itu mulai sesak. Bom ikan, penambangan karang, dan eksploitasi liar membuat laut kehilangan daya hidupnya. Conservation International Maluku mencatat, sekitar 38 persen terumbu karang di wilayah Seira telah rusak, terutama di bagian barat daya.
Markus terdiam lama ketika mendengar angka itu. “Anak-anak saya mungkin nanti tidak akan tahu warna karang. Mereka hanya tahu laut yang mati,” ucapnya pelan, menatap ombak yang memutih di bawah sinar bulan.
Laut Seira tidak hanya kaya biota. Ia juga menyimpan potensi energi besar. Di kedalaman 1.200 hingga 2.500 meter, Pertamina Hulu Energi bersama SKK Migas menemukan indikasi gas alam dengan kandungan hidrokarbon tinggi. “Kalau dikembangkan, Seira bisa jadi kawasan energi baru di Maluku,” ujar seorang teknisi PHE di Ambon, penuh semangat tapi juga cemas. Ia tahu, setiap pengeboran baru membawa risiko bagi keseimbangan ekosistem yang rapuh.
Lebih jauh lagi, ekspedisi ilmiah BRIN tahun 2023 menemukan endapan mineral laut dalam: mangan, kobalt, nikel, dan tanah jarang elemen langka untuk industri baterai masa depan. Dunia menoleh ke Seira, tapi sebagian warga justru khawatir laut mereka akan berubah jadi tambang, bukan lagi kehidupan.
“Kalau semua diambil, apa yang tersisa buat kami?” tanya Mariaan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Tanimbar. “Laut Seira adalah warisan. Kalau dikelola dengan bijak, dia bisa menopang hidup generasi Tanimbar di masa depan.”
Tak hanya kekayaan alam yang terpendam, Laut Seira juga menyimpan sejarah dunia. Penyelam lokal menemukan kayu kapal tua di dasar laut Pulau Selu, diduga peninggalan kapal dagang Portugis atau Belanda abad ke-17. Temuan keramik Cina dan Eropa memperkuat dugaan itu. Balai Arkeologi Ambon bahkan merencanakan penelitian lanjutan tahun 2026.
“Bisa jadi Seira menyimpan jejak perdagangan global masa lalu,” ungkap seorang arkeolog Balar. “Kalau dikelola dengan baik, situs bawah laut ini bisa menjadi wisata sejarah maritim kelas dunia.”
Namun, harapan itu terancam tenggelam oleh gelombang kerakusan. Para nelayan lokal mulai kehilangan kepercayaan. Pemerintah daerah berencana menggagas Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Seira Selu seluas 45.000 hektare, tapi hingga kini, pelaksanaannya masih menunggu keputusan politik dan pendanaan.
Universitas Pattimura Ambon bersama Loka PSDKP Saumlaki kini tengah meneliti energi biru dan konservasi biota laut khas Tanimbar. Program ini digadang-gadang sebagai langkah menuju ekonomi biru sebuah konsep yang menyeimbangkan pemanfaatan laut dengan pelestarian alam.
“Ekonomi biru bukan berarti kita berhenti mengambil dari laut,” ujar Mariaan lagi. “Tapi bagaimana kita mengambil tanpa membunuh.”
Sementara itu, Markus dan para nelayan lain terus berlayar, meski hasil tangkapan semakin menurun. Mereka masih percaya pada doa dan arah bintang. Di setiap fajar, perahu mereka bergerak pelan meninggalkan dermaga, diiringi riuh anak-anak yang melambaikan tangan.
“Laut ini sudah seperti darah bagi kami,” tutur Sadrak. “Kalau dia berhenti bernafas, kami pun mati.”
Menjelang senja, suara burung camar bercampur dengan debur ombak yang menampar karang. Seira kembali sunyi, hanya tersisa riuh alam yang tak pernah lelah bercerita. Harta karun itu masih di sana tersembunyi di dasar laut, di hati nelayan yang setia, dan di doa yang terucap setiap sore di tepi pantai. Mereka hanya ingin satu hal: agar dunia tidak sekadar datang untuk mengambil, tapi juga belajar untuk menjaga. (KN-07)








