Saumlaki, Kapatanews.com – Ia datang memenuhi panggilan hukum sebagai saksi. Namun beberapa jam kemudian, statusnya berubah menjadi tersangka. Peristiwa itu kini berada di bawah sorotan Panja Reformasi Penegakan Hukum Komisi III DPR RI setelah keluarga Petrus Fatlolon melaporkan dugaan penyimpangan serius dalam proses penyidikan.
Laporan yang disampaikan Joice Martina Pentury ke Komisi III DPR RI membuka rangkaian dugaan pelanggaran prosedur hukum, mulai dari penetapan tersangka tanpa pendampingan hukum pilihan sendiri, status tersangka yang menggantung lebih dari satu tahun, hingga dugaan kriminalisasi yang berdampak langsung pada hak politik dan kebebasan pribadi. Tim liputan menelusuri kronologi, dokumen, kesaksian, serta respons lembaga penegak hukum terkait.
Berdasarkan keterangan Joice di hadapan Komisi III, Petrus Fatlolon pertama kali ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan SPPD fiktif pada 19 Juni 2024. Namun hingga lebih dari satu tahun berlalu, perkara tersebut belum dilimpahkan ke tahap penuntutan dan juga tidak diterbitkan penghentian penyidikan.
Situasi berubah kembali pada 20 November 2025. Petrus dipanggil ke Kejaksaan Tinggi Maluku sebagai saksi dalam perkara penyertaan modal BUMD PT Tanimbar Energi. Menurut keluarga, beberapa jam kemudian ia ditetapkan sebagai tersangka dan langsung diperiksa.
“Suami saya datang sebagai saksi, tetapi pulang sebagai tersangka,” ujar Joice dalam rapat Panja Komisi III.
Tim liputan memperoleh keterangan dari beberapa pihak yang mengetahui langsung peristiwa pemanggilan tersebut. Dua sumber menyebut bahwa penetapan tersangka dilakukan pada hari yang sama dengan pemeriksaan saksi.
Salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan, “Status berubah di hari yang sama. Prosesnya cepat, dan pengacaranya bukan yang dipilih sendiri.”
Keterangan tersebut sejalan dengan pernyataan Joice yang menyebut bahwa penyidik menghadirkan pengacara lain tanpa persetujuan Petrus.
Tim liputan menerima salinan beberapa dokumen yang disebut sebagai: Surat panggilan saksi, berita acara pemeriksaan, surat penetapan tersangka.
Dokumen-dokumen tersebut saat ini sedang dalam proses verifikasi keasliannya dengan sumber independen. Hingga kini belum ditemukan dokumen publik yang menunjukkan adanya SPDP yang diterima oleh pihak keluarga pada awal penetapan tersangka tahun 2024.
Dari keterangan di Komisi III dan dokumen awal, sedikitnya terdapat tiga lapis relasi yang sedang disorot: Lapisan penyidikan perkara SPPD fiktif (2024), lapisan penyidikan penyertaan modal BUMD (2025), lapisan pengawasan internal kejaksaan (Jamwas), Modus yang disorot bukan pada substansi perkara semata, melainkan pada:
Perubahan status hukum mendadak, Tidak adanya kejelasan kelanjutan perkara pertama, Penahanan setelah status tersangka kedua.
Salah seorang Praktisi hukum yang meminta identitasnya dirahasiakan menyampaikan bahwa, secara prinsip, perubahan status dari saksi menjadi tersangka dalam satu hari dimungkinkan dalam hukum acara pidana, namun wajib memenuhi syarat ketat, yakni; Tersedianya minimal dua alat bukti, hak pendampingan hukum dipenuhi, administrasi penyidikan dilakukan secara terbuka.
“Jika salah satu unsur prosedural dilanggar, maka penetapan tersangka bisa dipersoalkan secara hukum,” ujarnya
Wartawan mencoba melakukan konfirmasi kepada : Kejaksaan Tinggi Maluku, Kejaksaan Negeri Kepulauan Tanimbar, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.
Untuk meminta klarifikasi terkait: Prosedur penetapan tersangka, Status perkara SPPD fiktif yang belum dilimpahkan, Dugaan tidak terpenuhinya hak pendampingan hukum.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak-pihak tersebut belum berhasil dikonfirmasi.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, Petrus Fatlolon tidak dapat mengikuti kontestasi politik Pilkada 2024. Keluarga menyebut dampaknya meluas hingga aspek sosial, ekonomi, dan psikologis.
Di tingkat nasional, kasus ini mendorong Komisi III DPR RI memanggil lembaga penegak hukum untuk dimintai klarifikasi. DPR menegaskan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan menggugurkan perkara, tetapi hasil temuan Panja akan menjadi rekomendasi resmi kepada aparat penegak hukum dan Presiden.
Kasus ini kini bukan semata soal benar atau salahnya seseorang di depan hukum, melainkan tentang bagaimana hukum dijalankan. Ketika seorang saksi dapat berubah menjadi tersangka dalam satu hari, sementara perkara lain menggantung lebih dari setahun tanpa kepastian, maka yang dipertaruhkan bukan hanya satu nama melainkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan itu sendiri.
Tim liputan akan terus menelusuri perkembangan kasus ini, termasuk hasil pemanggilan Jamwas dan Kejaksaan Tinggi Maluku oleh Komisi III DPR RI. (KN-07)








