Place Your Ad
Place Your Ad
Berita

Karang Taruna Seira: Uang Sirih Pinang Nelayan Bale-Bale Hak Adat, Bukan Retribusi

×

Karang Taruna Seira: Uang Sirih Pinang Nelayan Bale-Bale Hak Adat, Bukan Retribusi

Sebarkan artikel ini

Saumlaki, Kapatanews.com – Polemik penagihan terhadap ratusan kapal nelayan bale-bale yang beroperasi di perairan Tanimbar kini memasuki babak baru. Instruksi Wakil Bupati Kepulauan Tanimbar, dr. Julyana Ch. Ratuanak, yang melarang pemerintah desa melakukan penagihan retribusi dalam bentuk uang, menuai perdebatan hangat dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPRD Provinsi Maluku.

Di hadapan para legislator, Wakil Bupati menegaskan bahwa pemerintah desa tidak memiliki kewenangan menarik retribusi dari kapal-kapal tersebut. Namun, masyarakat adat dan pemerintah desa di Seira menilai bahwa praktik yang mereka jalankan bukanlah retribusi, melainkan “uang sirih pinang” sebagai bagian dari tradisi adat setempat.

Data resmi dalam forum tersebut mengungkapkan jumlah kapal nelayan bale-bale yang beroperasi di kawasan Tanimbar mencapai 223 unit. Dari jumlah itu, hanya 17 kapal yang mengantongi izin sah seperti Nomor Induk Berusaha (NIB), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), serta dokumen kapal lainnya. Sisanya, sebanyak 206 kapal, dinyatakan ilegal tanpa dokumen legal.

Dari 17 kapal yang memiliki izin, hanya 2 kapal yang benar-benar beroperasi di perairan Tanimbar. Sedangkan 13 kapal lainnya berfokus di perairan Aru. Kondisi ini semakin menegaskan dominasi kapal ilegal di wilayah Seira, tempat yang kini menjadi sorotan utama karena kaya akan telur ikan terbang bernilai ekonomis tinggi.

Kepada wartawan, Hendrik, Salah satu Ketua Karang Taruna di Seira, menilai bahwa persoalan ini tidak bisa serta-merta dibebankan kepada pemerintah desa maupun masyarakat adat. Menurutnya, tugas utama pengawasan legalitas kapal berada di tangan Pemerintah Provinsi Maluku bersama PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan).

“Urusan legalitas kapal, apakah mereka disebut legal atau ilegal, merupakan ranah pengawasan Provinsi Maluku bersama PSDKP, bukan urusan Pemerintah Desa Lima Satu Seira atau pemilik petuanan, dan masyarakat adat” tegas Hendrik.

Ia juga menegaskan, yang ditagih masyarakat bukanlah retribusi seperti yang dipahami pemerintah, melainkan “uang sirih pinang” yang sah sesuai adat. Menurutnya, Peraturan Desa (Perdes) tentang pungutan itu memang berlaku, tetapi hanya diberlakukan pada kapal-kapal yang memiliki izin.

Hendrik menjelaskan, peran masyarakat adat muncul karena adanya interaksi langsung dengan nelayan pendatang. Saat kapal-kapal tersebut berlabuh di petuanan umum maupun marga, lalu mengambil air, daun kelapa, hingga memanfaatkan daratan untuk kebutuhan hidup, merusak terumbu karang maka masyarakat adat merasa berhak menagih uang sirih pinang sebagai bentuk penghormatan dan kompensasi.

“Itulah sebabnya Pemdes dan masyarakat adat di Seira kerap terlibat, bukan dalam urusan status kapal, melainkan akibat langsung dari aktivitas para nelayan pendatang,” ujarnya.

Secara regulatif, kewenangan pengelolaan laut hingga 12 mil laut memang berada di tangan Pemerintah Provinsi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, segala bentuk pengawasan, penindakan, maupun penertiban kapal adalah ranah provinsi, bukan desa.

Maka, menurut Hendrik, tidak tepat jika masyarakat Seira dipandang melanggar hukum ketika hanya menegakkan hak adat. “Jadi jangan bicara omong kosong besar, lalu memprovokasi pemerintah desa dan masyarakat adat dengan memakai nama Wakil Bupati maupun instruksi Bupati,” ujarnya menegaskan.

Ia bahkan menyebut, untuk tahun ini, uang sirih pinang yang berlaku di petuanan ditetapkan Rp5 juta per kapal, sedangkan untuk Pemdes sebesar Rp2,5 juta. “Itu jelas uang sirih pinang, bukan retribusi,” tambahnya.

Dalam Instruksi Bupati Kepulauan Tanimbar sendiri, tak ada larangan terhadap pungutan adat tersebut. Yang ditekankan justru soal pengendalian dan penertiban praktik penangkapan telur ikan terbang ilegal yang merusak ekosistem laut. Berikut isi instruksi tersebut:

Dalam rangka pengendalian dan pengelolaan penangkapan telur ikan terbang serta menindak tegas praktik penangkapan ikan secara ilegal (ilegal fishing) guna mencegah kerusakan lingkungan akibat penangkapan yang bersifat destruktif dan tidak berkelanjutan, dengan ini menginstruksikan:

Kepada :

1. Pelaku usaha agen kapal penangkap telur ikan terbang.

2. Nelayan penangkap telur ikan terbang.

Untuk:
KESATU : Bagi kapal penangkap ikan yang tidak memiliki dokumen perizinan, dilarang melakukan aktivitas penangkapan telur ikan terbang di wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

KEDUA : Dokumen perizinan yang dimaksud pada diktum KESATU antara lain: Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) bagi kapal yang berukuran 10-30 GT dan Buku Kapal Perikanan Elektronik (e-BKP) bagi kapal yang berukuran lebih kecil dari 5 GT.

KETIGA : Satuan Polisi Pamong Praja dilibatkan dalam pengawasan dan pengamanan instruksi ini.

Instruksi ini memperlihatkan dengan tegas bahwa pemerintah kabupaten berkomitmen mengendalikan praktik penangkapan ikan yang berpotensi merusak lingkungan. Namun, ia sama sekali tidak menyinggung larangan terhadap pungutan adat berupa uang sirih pinang yang menjadi bagian dari kearifan lokal di Seira.

Dengan demikian, konflik pemahaman antara istilah retribusi dan uang sirih pinang perlu diluruskan. Pemerintah desa dan masyarakat adat menegaskan posisinya bukan sebagai pemungut retribusi negara, melainkan sebagai pelaksana aturan adat atas hak-hak petuanan. (KN-07)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad