Saumlaki, Kapatanews.com – Dugaan pelanggaran prosedur pemasyarakatan mengemuka di Lapas Kelas III Saumlaki setelah telepon genggam milik warga binaan Petrus Kait Londar dimusnahkan tanpa berita acara, tanpa saksi, dan tanpa dokumentasi resmi. Perangkat tersebut dimusnahkan pada 18 November 2025 oleh Kasubsi Kamtib Melkianus Jempormasse, berdasarkan pengakuannya kepada wartawan di Polres Kepulauan Tanimbar. Rabu, (3/12/2025).
Investigasi ini mengungkap adanya ketidaksesuaian prosedur penyitaan, kekosongan dokumen wajib, dugaan tekanan psikologis terhadap warga binaan, serta indikasi pola pemusnahan barang sitaan yang tidak tercatat secara administratif. Seluruh temuan diverifikasi melalui pemeriksaan dokumen, kesaksian keluarga, konfirmasi langsung kepada pejabat Lapas, serta pendapat ahli yang relevan.
Gangguan Prosedural Sejak Penyitaan
Telepon genggam milik Londar disita sekitar empat bulan sebelum pemusnahan dalam razia internal. Namun pemeriksaan menunjukkan tidak adanya:
- Berita Acara Penyitaan
- Pencatatan pada Register F
- Pemberitahuan tertulis kepada pemilik, padahal ketiganya merupakan kewajiban sesuai Permenkumham 29/2017.
Keluarga Londar mengakui bahwa membawa HP melanggar aturan, tetapi meminta agar data dalam perangkat termasuk dokumen kedinasan disalin terlebih dahulu. Permintaan itu tidak ditindaklanjuti.
Pemusnahan Tanpa Saksi
Pada 18 November 2025, Jempormasse meminta Londar memusnahkan perangkat dengan merendamnya ke dalam air. Londar menolak. Jempormasse kemudian melakukan pemusnahan sendiri.
Tidak ditemukan:
- Berita Acara Pemusnahan
- Dokumentasi foto atau video
- Saksi yang menyaksikan proses tersebut
- Pencatatan resmi dalam register barang sitaan.
Wartawan telah meminta bukti administrasi yang disebutkan Jempormasse, namun hingga pelaporan ini ditayangkan, dokumen yang dimaksud tidak diserahkan.
Kesaksian Keluarga dan Dugaan Tekanan Psikologis
Istri Londar, Elisabeth Wandan, mengatakan perangkat yang dimusnahkan menyimpan dokumen penting suaminya sebagai ASN.
“Kami meminta datanya disalin dulu sebelum dimusnahkan, tetapi tidak direspons,” ujarnya.
Keluarga juga menyampaikan bahwa Londar mengalami tekanan psikologis setelah peristiwa tersebut. Sumber lain menyebutkan nama petugas Roi Masela dan beberapa warga binaan terkait dugaan tekanan, termasuk ketakutan Londar untuk mengonsumsi makanan dari dapur Lapas selama sekitar lima hari.
Informasi ini telah dicek silang kepada beberapa sumber untuk menguji konsistensinya.
Kekosongan Administrasi
Investigasi tidak menemukan dokumen-dokumen yang seharusnya wajib tersedia, seperti:
- Berita Acara Penyitaan
- Berita Acara Pemusnahan
- Register F barang sitaan
- Formulir identitas pemilik barang
- Dokumentasi pemusnahan
- Penetapan waktu pemusnahan
Ketiadaan seluruh dokumen administrasi ini berpotensi melanggar standar tata kelola pemasyarakatan.
Aktor dan Indikasi Pola
Jempormasse mengakui bahwa pemusnahan HP dilakukan dengan metode perendaman air dan menyebutnya sebagai “prosedur”. Namun ia tidak dapat menjelaskan alasan tidak adanya saksi.

Dalam pengakuannya, pemusnahan serupa diduga dilakukan terhadap sekitar lima warga binaan lain, mengindikasikan adanya pola pemusnahan berulang tanpa administrasi resmi.
Nama Roi Masela, salah satu petugas Lapas, disebut dalam konteks dugaan tekanan psikologis. Dugaan ini masih membutuhkan klarifikasi lanjutan dari pihak berwenang.
Analisis Hukum
Menurut seorang pakar hukum yang dimintai pendapat dan telah diverifikasi oleh wartawan:
- Pemusnahan barang sitaan tanpa dokumen merupakan pelanggaran berat terhadap SOP pemasyarakatan.
- Tidak adanya saksi dan dokumentasi melanggar Permenkumham 29/2017.
- Perangkat berisi data pribadi sehingga pemusnahannya wajib mengikuti UU 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
- Pemusnahan tanpa dasar administrasi dapat memenuhi unsur Pasal 406 KUHP mengenai perusakan barang.
- Pejabat pemasyarakatan tetap terikat pada PP 94/2021 tentang Disiplin ASN.
Pendapat ini telah dicek silang kepada tiga sumber independen untuk memastikan konsistensi dan keakuratan kerangka hukum.
Konfirmasi Pihak Lapas Melkianus Jempormasse Dikonfirmasi langsung oleh wartawan, Jempormasse membenarkan tindakan pemusnahan.
“Kami memang memusnahkan barang seperti itu. HP dimasukkan ke air,” jelas Melkianus.
Ia menyatakan dokumentasi ada pada saat razia, tetapi tidak dapat menunjukkannya.
Ia juga menolak menjawab pertanyaan mengenai dugaan intimidasi dan meminta wartawan menghubungi Kepala Lapas.
Kepala Lapas Kelas III Saumlaki
Wartawan telah menghubungi melalui telepon dan pesan resmi untuk memperoleh klarifikasi.
Hingga laporan ini dipublikasikan, belum ada respons yang diberikan.
Wartawan akan memperbarui laporan bila pihak Lapas memberikan keterangan resmi.
Dampak Publik
1. Keamanan Warga Binaan
Dugaan tekanan psikologis menimbulkan kekhawatiran terkait perlindungan warga binaan.
2. Akuntabilitas Pengelolaan Barang Sitaan
Ketidakjelasan prosedur pemusnahan barang elektronik membuka ruang penyalahgunaan wewenang.
3. Integritas Institusi Pemasyarakatan
Pemusnahan tanpa administrasi resmi dapat menggerus kepercayaan publik terhadap sistem pemasyarakatan.
4. Risiko Pelanggaran HAM
Tekanan mental terhadap warga binaan bertentangan dengan prinsip perlakuan manusiawi dalam pemasyarakatan.
Konteks Nasional
Sejumlah temuan Ombudsman dan Komnas HAM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa persoalan administrasi penyitaan dan pemusnahan barang sitaan bukan hanya terjadi di satu Lapas. Kekosongan dokumentasi kerap menjadi celah terjadinya penyimpangan internal di berbagai lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Kasus di Saumlaki ini memperlihatkan pola yang serupa dan menegaskan pentingnya pengawasan lebih kuat terhadap tata kelola pemasyarakatan di daerah.
Kasus pemusnahan telepon genggam milik Petrus Kait Londar mengungkap dugaan pelanggaran prosedur penyitaan dan pemusnahan barang sitaan di Lapas Kelas III Saumlaki. Ketiadaan dokumen, tidak adanya saksi, dugaan tekanan psikologis, dan minimnya tanggapan dari pimpinan Lapas menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan internal.
Dengan adanya pengakuan bahwa pemusnahan serupa dilakukan terhadap beberapa warga binaan lain, kasus ini bukan hanya persoalan insidental, tetapi mengarah pada dugaan pola sistemik.
Evaluasi menyeluruh terhadap SOP, mekanisme pengawasan, dan akuntabilitas pejabat pemasyarakatan diperlukan agar praktik serupa tidak terus berulang. (KN-07)








