Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
BeritaOpini

Kemandirian Desa Yang Rapuh: Ironi Di Balik Gagasan Besar

×

Kemandirian Desa Yang Rapuh: Ironi Di Balik Gagasan Besar

Sebarkan artikel ini

Ambon,Kapatanews.com._ BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) lahir dari semangat besar yaitu membangun kemandirian ekonomi dari akar rumput Undang-Undang Desa Tahun 2014 memberi ruang baru bagi desa untuk mengelola potensi dan menentukan arah pembangunan secara otonom.

BUMDes diproyeksikan sebagai motor utama transformasi ekonomi desa, bukan hanya sebagai lembaga usaha, tetapi sebagai bentuk konkret kedaulatan lokal. Namun, setelah satu dekade berjalan, kita. harus mengakui bahwa ada ironi yang menganga antaracita-cita dan kenyataan.

Scroll Keatas
Example 300x450
Scroll Kebawah

Secara statistik, pertumbuhan BUMDes memang terlihat menggembirakan. Berdasarkan data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Kemendes PDTT) per Juni 2024,tercatat ada sebanyak 65,941 BUMDes di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18.850 di antaranya telah bertadan hukum.

Namun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan bahwa BUMDes yang aktif baru tercatat sebesar 75,8 persen yang tersebar di seluruh indonesia.

Dengan kata lain, masih terdapat 24,2 persen BUMDes di Indonesia yang tidak aktif, dan sebagian besar belum menghasilkan kontribusi nyata terhadap Pendapatan Asli Desa (PADes). Di Maluku, angka aktif BUMDes bahkan lebih kecil, sejalan dengan tantangan geografis dan kapasitas SDM yang terbatas.

Inilah yang saya sebut sebagai “kemandirian desa yang rapuh”, artinya struktur dan regulasinya kuat, tetapi tidak ditopang oleh kapasitas kelembagaan dan budaya partisipasi masyarakat yang memadai dalam banyak kasus, BUMDes dibentuk hanya demi formalitas, agar dana de sa bisa dikucurkan.

Badan hukum ada, nama usaha dicantumkan di papan, tapi unit bisnisnya tidak pernah benar-benar berjalan. yang lebih mengkhawatirkan, BUMDes seringkali dikelola oleh segelintir elit desa, tanpa transparansi dan tanpa keterlibatan aktif warga.

Melalui pendekatan teori kelembagaan (institutional theoryil, kita bisa melihat bahwa keberhasilan. sebuah lembaga tidak hanya ditentukan oleh perangkat hukum atau struktur organisasinya.

Lebih dari itu, keberhasilan sangat ditentukan oleh nilai sosial, norma lokal, dan praktik sehari-han yang tumbuh secara organik di masyarakat.

Dengan kata lain, kelembagaan bukan hanya bangunan formal, tapi juga harus memiliki jiwa sosial.

BUMDes yang berhasil di beberapa daerah indonesia, seperti BUMDes Tirta Mandiri di Kabupaten Klaten dengan omzet Rp. 10,3 Miliar; BUMDes Mandiri Giri Amerta di Kabupaten Buleleng dengan omzet Rp.5,1 Miliar; BUMDes Bangun Jaya di Kabupaten Kampar dengan omzet Rp.3 miliar, BUMDes Au Wula di Kabupaten Ende dan masih banyak lagi kisah sukses BUMDes lainnya, bukan karena besar modalnya, tapi karena kuat legitimasi sosialnya.

Mereka tumbuh dari bawah, dipimpin oleh warga yang dipercaya, dan dikawal dengan transparansi. Sebaliknya banyak desa di Maluku, BUMDes hadir bukan sebagai inisiatif warga, tetapi sebagai

titipanprogram. Akibatnya, ia tidak tumbuh menjadi lembaga yang hidup, melainkan proyek yang menunggu habis masa pakainya.

Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, pemerintah daerah perlu mengubah pendekatan dari membentuk ke memberdayakan. Tidak cukup hanya membangun BUMDes, tapi perlu mendampingi dan menumbuhkan kapasitas SDM, memperkuat tata kelola, dan membangun budaya kewirausahaan desa.

Kedua, dibutuhkan ekosistem kelembagaan yang sehat termasuk regulasi insentif dan sanksi, akses permodalan yang adil, serta jejaring mitra usaha yang nyata.

Ketiga, perlu ruang eksperimen. BUMDes tidak harus diseragamkan. Justru, keberhasilan BUMDes terletak pada kemampuannya menyesuaikan diri dengan karakter sosial dan ekonomi desa masing-masing.

Ironi BUMDes hari ini bukan hanya soal kegagalan teknis, tetapi soal kegagalan memahami bahwa kemandirian desa adalah proses sosial, bukan produk kebijakan semata.

Maka, bila kita sungguh ingin membangun dari desa, mari kita mulai dengan membangun kelembagaan yang hidup yang bukan hanya sahdi atas kertas, tetapi juga sah di mata dan hati masyarakat desa.

——

Oleh: Baretha Meisar Titioka, Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta,Jawa Tengah. _ Direktur Eksekutif INDEPP.

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad