Saumlaki, Kapatanews.com – Konflik antara masyarakat dan Lima Pemerintah Desa Seira tidak dapat dihentikan. Masalah terkait petuanan Ngorafruan ini semakin memanas setelah Pemerintah Desa Lima Satu Seira resmi melaporkan dua warga Desa Ruma Salut, masing-masing Mas Wuritimur dan Pit Wuritimur, ke Polres Kepulauan Tanimbar atas dugaan tindak pidana yang tengah diproses aparat penegak hukum.
Pelaporan tersebut dilakukan menyusul perselisihan lama mengenai kehadiran nelayan andon di wilayah petuanan Ngorafruan. Nelayan luar daerah ini dianggap mengganggu aktivitas nelayan lokal dan merugikan masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut di kawasan tersebut.
Seorang tokoh masyarakat Seira yang meminta identitasnya dirahasiakan, kepada Kapatanews.com bahwa langkah pelaporan ini justru dikhawatirkan memperlebar jarak dan menambah luka sosial di antara warga Seira.
“Kami semua di sini masih keluarga besar. Kalau masalah ini dibawa terus ke jalur hukum tanpa mediasi, takutnya hubungan kekeluargaan akan retak selamanya,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihak keluarga berharap adanya peran aktif wakil rakyat yang terpilih dari daerah pemilihan (Dapil) II untuk turun langsung memediasi kedua belah pihak. Menurutnya, mediasi yang melibatkan tokoh netral dan pemerintah daerah akan lebih efektif meredakan ketegangan dibandingkan proses hukum semata.
“Wakil rakyat yang kami pilih seharusnya melihat ini sebagai prioritas. Kalau mereka turun, duduk bersama, dan cari jalan tengah, mungkin masalah ini bisa selesai baik-baik. Kami tidak mau Seira terus-terusan gaduh,” katanya lagi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, konflik bermula dari perbedaan pandangan mengenai status kepemilikan Pulau Seira dan petuanan Ngorafruan. Sebagian masyarakat Lima Satu Seira menganggap wilayah tersebut adalah milik bersama, sedangkan pihak keluarga Wuritimur–Lololia menegaskan ada dasar sejarah yang menguatkan klaim kepemilikan mereka.
Perselisihan ini mencapai puncaknya saat rapat negeri yang digelar pada 8 Agustus lalu di Desa Temin. Rapat yang dihadiri lima pemerintah desa se-Pulau Seira, tokoh masyarakat, dan pihak keluarga Wuritimur–Lololia itu berlangsung panas dan diwarnai saling bantah. Meski sudah dibahas panjang lebar, pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan final.
Pemerintah Desa Lima Satu Seira kemudian memutuskan untuk melaporkan dua warga Ruma Salut terkait dugaan pungutan liar, penggelapan dan penguasaan lahan secara sepihak di petuanan Ngorafruan. Langkah ini mendapat dukungan dari sebagian masyarakat, namun juga menuai kritik dari pihak yang menganggap jalur hukum seharusnya menjadi opsi terakhir.
“Kalau mau hukum jalan, silakan. Tapi ingat, kita ini semua masih satu pulau. Jangan sampai setelah ini, anak cucu kita saling memusuhi hanya karena kita tidak mau duduk bicara,” tegas sumber.
Ia juga menyoroti pentingnya keterlibatan lembaga adat dalam proses mediasi. Menurutnya, selain wakil rakyat dan pemerintah daerah, lembaga adat memiliki pengaruh besar untuk meredakan situasi karena masih dihormati oleh masyarakat setempat.
Di sisi lain, pihak pemerintah desa yang menjadi pelapor berpegang pada keyakinan bahwa langkah hukum adalah cara untuk memberikan kepastian dan melindungi kepentingan masyarakat Lima Satu Seira. Namun, tanpa adanya dialog yang setara, potensi konflik berkepanjangan tetap terbuka.
Situasi ini menjadi ujian besar bagi para pemimpin lokal dan wakil rakyat dari Dapil II untuk menunjukkan komitmen mereka dalam menjaga harmoni sosial. Masyarakat Seira kini menanti langkah konkret dari semua pihak agar konflik ini dapat diselesaikan dengan damai, demi masa depan pulau yang lebih rukun dan sejahtera. (KN-07)