Saumlaki, Kapatanews.com – Ketegangan sosial kembali terjadi di Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), setelah masyarakat adat Kampung Lama Ngorafruan dilaporkan ke polisi atas dugaan pungutan liar terhadap kapal-kapal Andon yang beroperasi di wilayah laut adat mereka.
Laporan tersebut menyasar warga adat dari marga Loulolia dan Wuritimur yang selama ini dikenal sebagai penjaga laut di wilayah petuanan Ngorafruan. Tuduhan ini memantik reaksi keras dari masyarakat setempat yang menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap hak ulayat yang dijamin oleh konstitusi.
“Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jelas mengakui hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Anehnya, yang menjaga laut adat dipolisikan, sementara kapal-kapal Andon yang masuk tanpa izin justru dibiarkan,” tegas Ois Wuritimur kepada Wartawan melalui WhatsApp Pribadinya, Kamis, (31/07/2025).
Masuknya kapal-kapal Andon ilegal dari Sulawesi Tenggara tanpa izin resmi menyalahi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Namun, absennya Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Desa (Perdes) terkait pengelolaan hak ulayat memperkeruh situasi.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar hingga kini belum menyusun regulasi yang dapat melindungi masyarakat adat dari praktik eksploitasi sumber daya laut secara sepihak. Kekosongan hukum ini memicu masyarakat bertindak langsung untuk mempertahankan wilayah laut warisan leluhur mereka.
“Selama tidak ada aturan yang tegas, wajar kalau kami pemilik petuanan mengambil peran. Yang kami lakukan bukan pungutan liar, ini hak adat yang sudah ada sebelum negara lahir,” kata Ois lagi, membela tindakan kolektif warga.
Pada tahun 2021, pernah tercapai kesepakatan antara pemerintah desa dan masyarakat adat mengenai pembagian retribusi kapal Andon. Dari total Rp7,5 juta, disepakati Rp3 juta akan dialokasikan untuk pembangunan fasilitas masyarakat adat di Ngorafruan.
Namun, kesepakatan itu tidak pernah direalisasikan hingga kini. “Janji itu tidak pernah ditepati. Empat tahun kami gagal panen rumput laut karena kapal Andon, tapi tidak ada ganti rugi. Itu sebabnya masyarakat menagih langsung. Jangan kriminalisasi kami,” ujar Ois.
Masyarakat adat menilai bahwa negara dan pemerintah daerah telah lalai dalam melindungi hak-hak mereka. Penegakan hukum dianggap tumpul ke atas dan tajam ke bawah karena kapal-kapal Andon yang jelas-jelas ilegal justru tidak pernah ditindak tegas.
Ois menyerukan agar Pemda Kepulauan Tanimbar bersama DPRD segera menyusun Perda Hak Ulayat yang berbasis pada hasil survei dan pemetaan wilayah adat di seluruh KKT. Ia juga menyebutkan dasar-dasar hukum yang memperkuat usulan tersebut.
“Oleh karena itu, saya sebagai anak adat Ngorafruan mengusulkan agar Pemerintah Kabupaten KKT bersama DPRD segera menyusun Perda Hak Ulayat. Pemerintah harus melakukan survei dan pemetaan hak ulayat di seluruh wilayah KKT,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ois menekankan pentingnya Perda ini merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Permendagri No. 52 Tahun 2014, PP No. 47 Tahun 2012, dan Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019.
“Pengakuan negara terhadap hak ulayat masyarakat adat harus diwujudkan melalui Perda sebagai bentuk pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah. Ini bukan hanya soal hukum, ini soal harga diri dan eksistensi masyarakat adat di KKT,” tegasnya lagi.
Dalam pandangannya, Ois mengutip pemikiran Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa sistem hukum yang buruk akan membuat orang baik menjadi buruk. Sebaliknya, sistem yang baik mampu menundukkan orang buruk untuk tunduk pada aturan yang adil.
Apabila proses kriminalisasi terhadap masyarakat adat tetap berlangsung, Ois menegaskan bahwa mereka siap menempuh langkah hukum demi keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak ulayat yang terus diabaikan. (KN-07)