Ambon, Kapatanews.com– Penataan aset milik Pemerintah Provinsi Maluku di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ambon kini menjadi perbincangan serius di kalangan praktisi tata ruang. bagi mereka, ini bukan sekadar tugas administratif, namun Penataan aset milik Pemprov Maluku di koridor Jalan Jenderal Sudirman dinilai sebagai momentum penting untuk rebranding tata ruang Kota Ambon.
Praktisi tata ruang Jamaludin Mahulette dalam rilis ke Media ini Sabtu (20/09)menekankan, keberhasilan langkah ini sangat ditentukan oleh konsistensi pada RT RW dan RDTR, sehingga koridor Sudirman dapat berfungsi sebagai wajah baru kota yang modern, inklusif, dan berkelanjutan.
“Koridor Sudirman adalah etalase kota. Semua orang yang datang ke Ambon pasti melewati kawasan ini. Maka, menata aset pemerintah di sana bukan hanya soal legalitas tanah, tapi bagaimana ruang kota ini bisa tampil lebih tertib, indah, dan produktif ”
Dalam sesi diskusi singkat, Mahulette menjelaskan bahwa banyak aset pemerintah yang selama ini terbengkalai seperti: bangunan rusak, lahan terbengkalai, hingga area eksklusif tanpa fungsi jelas namun justru bisa menjadi kunci kemitraan antara pemerintah dan masyarakat jika dikelola dengan baik.
“Kalau kita hanya menata tanah tanpa memikirkan fungsinya, maka hasilnya hanya ‘pemetaan yang indah’, tetapi ruang kota tetap mati,” ujarnya.
Ia menyarankan agar aset-aset tersebut diubah menjadi RTH (Ruang Terbuka Hijau) di tengah kota untuk menurunkan suhu urban, pusat layanan terpadu bagi warga yang ingin mengurus administrasi pemerintahan dan Kampung budaya atau galeri seni lokal sebagai bentuk pelestarian identitas Ambon
Salah satu pesan paling penting dari Mahulette adalah bahwa penataan tidak boleh terjadi diluar kerangka rencana tata ruang. Ia menekankan bahwa:
“Tanpa keselarasan dengan RTRW dan RDTR Kota Ambon, kita bisa membuat kebijakan yang justru menghambat pembangunan jangka panjang.”
Kata-kata ini menggambarkan kekhawatiran nyata terhadap pembangunan yang tidak terencana, di mana satu bangunan pemerintah yang dibangun tanpa izin tata ruang justru bisa mengganggu aliran transportasi atau mengganggu fungsi ruang publik.
Praktisi tata ruang ini juga mengingatkan bahwa keberhasilan penataan aset tidak bisa hanya diukur dari jumlah tanah yang terpeta, melainkan dari keterlibatan masyarakat. Ia menekankan perlunya: Publikasi arah pemanfaatan aset secara berkala,Forum diskusi untuk menyampaikan masukan warga,
Sistem pemantauan bersama oleh organisasi masyarakat lokal dan “Jangan biarkan warga hanya jadi penonton. Mereka adalah bagian dari proses,” tegasnya.
Mahulette juga menyampaikan harapan besar: “Ini bukan sekadar penataan tanah. Ini adalah upaya rebranding kota secara ruang, secara identitas, dan secara semangat.”Ia yakin bahwa dengan penataan yang visioner dan kolaboratif: maka jalan Jendral Sudirman bisa menjadi koridor utama yang mencerminkan kota modern, sehat, dan inklusif serta Kota Ambon bisa berdiri sebagai kota provinsi yang berwawasan tata ruang, bukan hanya mengandalkan potensi alam
Sebagai penutup, Mahulette mengingatkan “Kepemilikan aset itu penting. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana aset itu memberi manfaat bagi semua dan jangan biarkan aset menjadi tumpukan kertas, tapi jadikan kota itu rumah yang hidup.(*)