Saumlaki, Kapatanews.com – Duka menyelimuti hati Lamulyadi, seorang nelayan kecil asal Buton yang kini tinggal bersama keluarganya di kawasan Pasal Omele, belakang Perusahaan Es Balok, Saumlaki. Kehidupan sederhana yang mereka jalani tiba-tiba menjadi penuh beban dan tekanan setelah meteran listrik milik mereka dicabut paksa oleh petugas PLN Saumlaki. Alasannya, dugaan pelanggaran penggunaan listrik. Namun, bagi Lamulyadi, itu seperti petir di siang bolong.
“Saya ini hanya seorang nelayan kecil. Meteran itu sudah dipasang sejak empat tahun lalu. Selama ini tidak pernah ada masalah. Tapi setelah kami pulang kampung selama tiga bulan dan kembali, tiba-tiba ada pemeriksaan dan katanya meteran bermasalah,” ujar Lamulyadi kepada Kapatanews.com Selasa (9/7).
Ia menceritakan, setibanya dari kampung halaman, petugas PLN langsung datang dan memeriksa meteran. Mereka menyebut bahwa selama tiga bulan itu, tidak ada pembelian pulsa listrik, padahal faktanya menurut Lamulyadi, sisa pulsa di meteran memang belum habis karena pemakaian mereka sangat minim hanya dua mata lampu.
“Kami pakai listrik hanya untuk dua mata lampu. Pulsa masih ada karena rumah kosong selama delapan bulan. Tapi mereka langsung mencabut meteran, dan bawa ke kantor PLN tanpa ada pembicaraan dulu,” jelasnya.
Lamulyadi merasa diperlakukan sewenang-wenang. Tanpa penjelasan rinci, dirinya lalu diminta datang ke kantor PLN Saumlaki. Di sanalah ia dikejutkan dengan tuntutan pembayaran denda sebesar Rp11 juta lebih.
“Kami Masyarakat Miskin, Kami Tidak Paham Masalah Ini”
Dengan suara berat menahan pilu, Walinca, istri Lamulyadi, turut bersuara. Ia tak kuasa menahan air mata saat menceritakan tekanan yang mereka hadapi sejak meteran dicabut.
“Kami ini masyarakat miskin, kami tidak tahu apa-apa tentang aturan dan teknis meteran. Tapi kami terus didesak untuk bayar denda Rp11 juta. Itu jumlah yang sangat besar bagi kami,” kata Walinca dengan nada parau.
Ia mengaku sempat datang bersama suaminya ke kantor PLN untuk meminta penjelasan dan menyampaikan niat baik menyelesaikan persoalan ini. Namun, tidak ada titik terang.
“Mereka terus paksa kami ke kantor. Tapi saat kami datang pun, tidak ada kepastian apa yang harus kami lakukan. Saya hanya ibu rumah tangga, dan suami saya seorang nelayan yang penghasilannya tidak tentu,” ucapnya lirih.
Lebih dari sebulan, keluarga ini hidup tanpa listrik. Malam-malam mereka diselimuti gelap. Anak-anak mereka terpaksa belajar dalam redupnya lampu minyak, dan kehidupan sehari-hari menjadi sangat berat. Pihak PLN tetap bersikeras bahwa Lamulyadi telah melakukan pelanggaran teknis, meskipun tidak satu pun dari keluarga itu memahami letak kesalahan tersebut.
“Petugas yang Pasang Meteran Itu Okto, Pegawai PLN Sendiri”
Ironisnya, menurut Lamulyadi, pemasangan awal meteran dilakukan langsung oleh petugas PLN bernama Okto. Ia hanya menerima layanan sebagai pelanggan, tanpa pernah mengotak-atik instalasi listrik apapun. Maka, bila benar terjadi masalah teknis, menurutnya, mestinya menjadi tanggung jawab teknis dari pihak PLN.
“Yang pasang meteran itu namanya Okto, pegawai PLN sendiri. Kami tidak pernah sentuh-sentuh alat itu. Tiba-tiba dibilang salah, langsung dicabut, kami ditinggal dalam gelap, dan disuruh bayar belasan juta rupiah,” katanya dengan nada getir.
Kini, Lamulyadi dan keluarganya hanya bisa berharap ada keadilan. Mereka hidup dalam kesederhanaan, menggantungkan penghidupan dari laut. Uang Rp11 juta yang diminta PLN, bagi mereka bukan sekadar angka. Itu adalah beban hidup yang tidak sebanding dengan apa yang mereka konsumsi dari listrik selama ini.
“Kalau memang salah, mari kita bicara baik-baik. Tapi jangan langsung putus dan minta bayar sebanyak itu. Kami ini pendatang di tanah orang, hanya mau hidup tenang,” ungkap Walinca penuh kesedihan.
Kepastian yang Menggantung dan Keberpihakan yang Dirindukan
Ketika ditanya soal tindak lanjut dari PLN, Lamulyadi mengaku belum ada kejelasan. Ia hanya bolak-balik dipanggil, tanpa ada opsi ringan atau jalan tengah yang ditawarkan. Dalam hati kecilnya, ia mempertanyakan keadilan yang seharusnya melindungi rakyat kecil.
“Kami hanya mau kejelasan. Kami tidak minta dibebaskan kalau memang salah, tapi kami minta diperlakukan manusiawi. Jangan sampai hukum dan pelayanan negara justru menjadi penindas orang miskin seperti kami,” tegas Lamulyadi.
Kisah keluarga ini hanyalah satu dari banyak potret kesedihan warga kecil yang terkadang tak memiliki ruang bersuara. Mereka hidup dalam kesabaran dan doa, berharap ada mata hati di balik meja kekuasaan yang mampu melihat air mata orang-orang yang selama ini hanya dikenal sebagai “pelanggan”. (KN-07)