Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Berita

Ngorafruan, Kampung Lama Marga Lololia-Wuritimur di Pesisir Seira Jadi Perebutan

×

Ngorafruan, Kampung Lama Marga Lololia-Wuritimur di Pesisir Seira Jadi Perebutan

Sebarkan artikel ini

Saumlaki, Kapatanews.com – Sengketa penguasaan lahan dan laut di Ngorafruan, Pulau Seira, Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, memanas. Wilayah yang dikenal sebagai kampung lama tempat tinggal pertama leluhur marga Lololia-Wuritimur kini diperebutkan antara pewaris adat dan Pemerintah Desa dalam rapat resmi antara Pemerintah Desa Lima Satu Seira dan Masyarakat setempat.

Ngorafruan bukan sekadar kebun kelapa dan hamparan laut. Bagi Mata Rumah Lololia-Wuritimur, tempat ini adalah simbol sejarah, saksi jejak leluhur, dan sumber penghidupan. “Dari dulu ini tempat tinggal pertama orang tua-tua kami. dan ada batas-batas yang jelas, dan kami jaga sampai sekarang,” ungkap salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya demi menjaga keamanan.

Scroll Keatas
Example 300x450
Scroll Kebawah

Secara adat Maluku, Ngorafruan merupakan petuanan hak ulayat yang dimiliki suatu marga atau soa dan diwariskan turun-temurun. Hak ini tidak bisa diambil tanpa musyawarah adat. Di daratan, hak ulayat dibuktikan lewat batas alam, pohon penanda, dan makam leluhur. Di laut, hak adat dijalankan melalui aturan sasi untuk menjaga kelestarian sumber daya.

Namun, sumber di internal Pemerintah Desa menyebut wilayah tersebut adalah bagian dari administratif desa, sehingga pengelolaannya masuk dalam rencana pembangunan desa. “Kami tidak mengabaikan adat, tapi wilayah desa ini juga untuk kepentingan semua warga,” kata seorang aparat desa yang meminta namanya dirahasiakan.

Di sisi lain, pengamat hukum agraria lokal menegaskan bahwa secara hukum positif, tanah adat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui masyarakat adat. Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi dasar pengakuan tersebut.

“Kalau memang itu tanah adat, pemerintah desa tidak bisa bertindak sepihak. Pengakuan hukum adat ini bahkan diperkuat jika ada Peraturan Daerah yang mengatur,” jelasnya.

Laut di sekitar Ngorafruan menambah rumit persoalan. Berdasarkan Undang-Undang Perikanan, laut memang dikuasai oleh negara, namun hak kelola adat bisa diakui jika diatur oleh pemerintah daerah. Di Maluku, hal ini lazim disebut petuanan laut. Tanpa perlindungan formal, nelayan luar bisa masuk dan memanfaatkan sumber daya tanpa izin, seperti yang pernah terjadi di Tanimbar Saat ini.

Sejumlah warga mengaku khawatir jika lahan dan laut Ngorafruan dimasukkan dalam proyek desa atau investasi pihak luar tanpa persetujuan adat. “Kalau tanah dan laut ini diambil alih, kita bukan hanya kehilangan sumber hidup, tapi juga kehilangan sejarah,” kata seorang Pemuda setempat.

Data yang dihimpun Kapatanews.com menunjukkan bahwa Ngorafruan menyimpan potensi besar, baik dari hasil perkebunan kelapa maupun kekayaan lautnya. Nilai ekonominya menjadi salah satu faktor yang memicu perebutan kewenangan.

Tokoh adat mendesak adanya pertemuan resmi yang melibatkan tetua marga, tokoh masyarakat, pemerintah desa, pemerintah kecamatan, hingga pemerintah kabupaten.

“Ini harus diselesaikan secara adat dulu. Kalau tidak ada jalan, baru kita bawa ke pengadilan,” tegas salah satu tokoh adat masyarakat Seira yang juga meminta namanya dirahasiakan.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari kepala desa maupun pihak pemerintah kabupaten terkait langkah penyelesaian. Namun, di lapangan, tensi terus meningkat seiring munculnya pihak-pihak luar yang mulai melirik potensi wilayah ini.

Persoalan Ngorafruan kini menjadi ujian bagi semua pihak untuk membuktikan komitmen menjaga kearifan lokal, melindungi hak adat, dan memastikan pembangunan tidak mengorbankan sejarah serta identitas masyarakat setempat. (KN-07)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad