Saumlaki, Kapatanews.com – Rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahap kedua di Kabupaten Kepulauan Tanimbar kini berubah menjadi mimpi buruk bagi para tenaga honorer yang telah puluhan tahun mengabdi.
Dugaan kuat terjadinya praktik pemalsuan SK, manipulasi dokumen negara, serta intervensi oknum anggota DPRD, mencuat ke permukaan dan mengundang kecaman luas. Sorotan tajam kini tertuju ke pemerintah daerah yang dinilai gagal menjaga integritas birokrasi.
Rangkaian dugaan kejahatan itu tidak lagi sebatas isu internal. Praktisi hukum dan mantan anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Lartutul, menegaskan bahwa proses seleksi PPPK tahun ini penuh kejanggalan dan kuat aroma pelanggaran pidana.
“Ini bukan hanya pelanggaran administratif, ini sudah masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum,” tegas Lartutul, Jumat (11/07).
Puluhan tenaga honorer asli daerah yang selama ini mengabdi di berbagai instansi pemerintahan mendadak tersingkir. Padahal, mereka tercatat aktif dalam sistem kepegawaian nasional dan memenuhi seluruh syarat administrasi. Ironisnya, nama-nama baru justru muncul sebagai penerima SK PPPK mereka tidak pernah mengabdi, tidak tercatat di mana pun, namun berhasil lolos.
Menurut sejumlah sumber internal, nama-nama itu muncul atas rekomendasi dan tekanan dari oknum DPRD KKT, yang diduga menggunakan pengaruh kekuasaan untuk meloloskan “orang-orang titipan” melalui SK fiktif.
Lanjut Lartutul, jika benar SK PPPK diterbitkan bagi individu yang tidak memiliki dasar pengabdian, maka itu merupakan pemalsuan dokumen negara.
“Jenis deliknya jelas, yakni menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik. Bila SK itu diterbitkan tanpa dasar yang sah, maka unsur pidana terpenuhi,” paparnya.
Ia menambahkan, tindakan ini juga melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, karena ada penyalahgunaan kewenangan demi keuntungan pribadi atau kelompok yang merugikan keuangan negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berulang kali menekankan bahwa jual beli jabatan, termasuk untuk ASN dan PPPK, adalah bentuk korupsi yang paling merusak birokrasi daerah. Dalam setiap pedoman rekrutmen, KPK meminta agar seleksi dilakukan secara profesional, adil, dan bebas dari intervensi politik.
Namun, kenyataan di Tanimbar berkata lain. Proses seleksi justru digunakan sebagai ladang politik balas jasa, mengangkangi etika birokrasi dan melukai hati para tenaga honorer sejati.
“Kalau faktanya tidak pernah mengabdi lalu tiba-tiba jadi PPPK, itu pelanggaran hukum. Dan ini tidak bisa ditolerir,” ujar Lartutul geram.
Menyikapi kebusukan ini, Lartutul menyerukan masyarakat untuk tidak diam. Ia membuka ruang bagi siapa saja korban honorer, aktivis, atau warga biasa untuk melapor ke Polres KKT, Kejaksaan, hingga KPK.
“Saya berdiri untuk rakyat Tanimbar. Silakan datang, saya siap dampingi secara gratis. Ini bukan soal pribadi, ini soal masa depan birokrasi daerah,” ujarnya dengan nada tegas.
Sebagian besar tenaga honorer yang tersingkir takut untuk buka suara. Menurut informasi yang dihimpun, mereka dijanjikan akan diakomodir dalam rekrutmen berikutnya. Namun Lartutul menepis janji itu sebagai ilusi yang memperpanjang penderitaan.
“Janji itu hanya untuk meninabobokan. Mereka akan terus ditipu dan dibungkam jika tidak melawan,” tegasnya.
Jika laporan resmi masuk, maka aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti. Kasus ini berpotensi menyeret oknum DPRD, pejabat BKPSDM, hingga kepala OPD yang turut menerbitkan SK siluman. Bila terbukti, maka ancaman hukumannya bisa mencapai 15 tahun penjara, disertai denda dan pengembalian kerugian negara.
Lartutul bahkan menyebut perlunya keterlibatan KPK langsung untuk mengaudit dan membongkar seluruh proses rekrutmen PPPK di Tanimbar, termasuk pembentukan tim independen untuk evaluasi total.
“Jangan biarkan Kabupaten Kepulauan Tanimbar hanya jadi milik segelintir orang yang merusak sistem. Saatnya masyarakat bersatu, lawan praktik kotor ini. Jangan diam, suara rakyat adalah senjata utama keadilan.” (KN-07)