Saumlaki, Kapatanews.com – Di antara riuh sorak politik yang mulai mereda setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar periode 2025–2030, muncul kembali satu suara yang memanggil nurani generasi muda: suara tanggung jawab dan kesadaran akan masa depan Tanimbar.
Hari-hari pasca pelantikan itu bukan hanya momentum bagi para pejabat untuk menyusun rencana kerja, tetapi juga bagi para pemuda Tanimbar untuk bertanya: di mana posisi kita dalam perjalanan menuju Tanimbar Maju?
Bupati Ricky Jauwerissa yang baru saja dilantik tampil dengan gagasan besar: Tanimbar Bersatu. Ia menyerukan agar semua elemen meninggalkan sekat politik dan membangun Tanimbar bersama.
Visi yang ia bawa bukan sekadar jargon, melainkan arah pembangunan yang dirangkum dalam konsep Tanimbar Maju Mandiri, Adil, Jujur, Unggul, Berkelanjutan. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh pemerhati sosial muda, Anders Luturyali, Seruan persatuan itu harus dijawab bukan dengan tepuk tangan, tapi dengan kerja nyata dan sikap kritis.
Anders menilai bahwa di tengah semangat pembangunan yang digaungkan pemerintah daerah, masih ada kesenjangan antara kata dan kenyataan. Banyak masyarakat masih hidup dalam kemiskinan, sementara kekuasaan lebih berpihak pada kelompok tertentu.
“Di sinilah pemuda harus hadir, bukan sebagai penggembira, tapi sebagai pengawal moral pemerintahan,” katanya.
Menurut Anders, sejarah bangsa telah mengajarkan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keberanian pemuda. Ia mengutip pesan Bung Karno, ‘Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.’ Kata-kata itu, bagi Anders, bukan hanya simbol heroisme masa lalu, tetapi kompas moral bagi pemuda hari ini untuk berani mengguncang sistem yang tidak adil.
“Pemuda harus berani bicara, meskipun suaranya sumbang di telinga penguasa,” ujarnya tegas.
Baginya, keberanian bukan berarti melawan tanpa arah, tetapi berpihak pada nurani dan kebenaran. Di saat banyak orang diam karena takut kehilangan posisi, pemuda seharusnya menjadi penentu arah perubahan.
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini, di usia ke-97 peringatan itu, momentum refleksi terasa lebih bermakna di Tanimbar.
Anders mengajak generasi muda untuk bertanya kepada diri sendiri: apakah kita kini sedang tercekik, terlentang, atau terlenting? Sebuah refleksi yang menggugah kesadaran tentang kondisi pemuda di tengah dinamika kekuasaan.
Dalam pengamatannya, Anders menyebut fenomena menarik yang sedang terjadi di tubuh pemuda Tanimbar. Sejak dilantiknya pemerintahan baru, banyak organisasi kepemudaan dan ormas mulai berbenah diri. Sebagian memilih mendekat ke lingkaran kekuasaan, sebagian lagi bersikap netral, dan sedikit diantaranya mengambil posisi kritis.
“Fenomena ini mirip politik praktis. Ada yang jadi koalisi, ada oposisi, ada yang pura-pura netral,” katanya tersenyum getir.
Baginya, dinamika ini menunjukkan bahwa semangat idealisme pemuda mulai diuji oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Anders menilai, meski musim politik telah usai, tetapi utang politik belum selesai. Kepentingan yang tak kunjung padam itulah yang sering menjerat pemuda hingga kehilangan arah perjuangan.
“Kepentingan adalah jebakan paling halus. Kalau pemuda sudah masuk ke sana, idealisme mereka mati pelan-pelan,” ujarnya penuh makna.
Ia percaya, pemuda harus tetap menjaga jarak yang sehat dengan kekuasaan. Kedekatan boleh, tetapi independensi tidak boleh dijual.
“Pemuda boleh bersinergi dengan pemerintah, tetapi bukan berarti tunduk. Sinergi tanpa kritis hanya menjadikan kita alat, bukan mitra,” tegas Anders.
Baginya, pemuda Tanimbar hari ini memiliki potensi besar mereka kreatif, inovatif, adaptif terhadap perubahan zaman. Namun, potensi itu akan menjadi sia-sia bila tidak diarahkan dengan nilai-nilai kejujuran dan keberanian.
“Jangan sampai energi muda kita hanya dipakai untuk membangun citra penguasa,” katanya.
Dalam konteks itu, Anders membagi pemuda dalam tiga kategori yang mencerminkan cara mereka menanggapi realitas kekuasaan. Pertama adalah pemuda tercekik, yaitu mereka yang membiarkan diri dikendalikan oleh kepentingan politik dan kekuasaan. Mereka hidup nyaman dalam kendali orang lain, seperti burung dalam sangkar emas yang indah tapi tak bebas.
“Pemuda tercekik tampak sibuk, tapi sebenarnya kehilangan arah,” katanya.
Mereka seolah-olah bergerak, namun langkahnya diarahkan oleh kekuatan diluar dirinya. Baginya, inilah tragedi terbesar bagi generasi muda kehilangan kemerdekaan berpikir dan bertindak.
Kategori kedua adalah pemuda terlentang, mereka yang memilih diam dan pasrah. Takut, ragu, enggan mengambil risiko.
“Mereka ini hidup di zona nyaman. Tidak berani berpendapat, tidak mau bertindak, hanya menunggu keadaan berubah,” tutur Anders.
Menurutnya, pemuda jenis ini adalah cerminan dari generasi yang kehilangan semangat juang. Mereka membiarkan diri hanyut dalam sistem tanpa memberikan kontribusi nyata.
“Pemuda yang terlentang itu mati dalam pelukan sistem,” ujarnya.
Sementara kategori ketiga adalah pemuda terlenting mereka yang mampu bangkit meski ditekan. Mereka menjadikan tekanan sebagai kekuatan untuk melompat lebih tinggi.
“Ada pepatah kuno, semakin ditekan, lentingannya semakin tinggi. Itulah semangat yang harus dimiliki pemuda Tanimbar,” jelasnya.
Bagi Anders, pemuda terlenting adalah harapan baru. Mereka sadar bahwa perubahan bukan hadiah, tetapi hasil perjuangan. Mereka tetap tegak meski menghadapi tekanan politik, ekonomi, dan sosial.
“Mereka inilah yang akan membawa Tanimbar menuju kemandirian,” katanya penuh keyakinan.
Ia menekankan bahwa syarat utama untuk menjadi pemuda terlenting adalah independensi. Pemuda harus bebas berpikir dan bertindak, tanpa dikendalikan oleh kepentingan politik atau ekonomi.
“Kalau independensi hilang, maka pemuda akan lumpuh,” tegasnya.
Anders menyoroti bahwa banyak pemuda Tanimbar kini berada di berbagai sektor pemerintahan, swasta, jurnalisme, bahkan dunia aktivisme. Semua posisi itu, menurutnya, adalah ruang pengabdian jika dijalani dengan kesadaran dan integritas.
“Posisi tidak menentukan kontribusi. Yang menentukan adalah keberanian untuk jujur dan berbuat,” katanya.
Ia juga menilai, pemerintah daerah perlu memberi ruang lebih besar bagi partisipasi pemuda dalam pengambilan kebijakan publik.
“Pemuda bukan pelengkap struktur, tapi pilar penopang pembangunan,” ujarnya menegaskan.
Dalam refleksinya, Anders melihat bahwa Tanimbar Maju hanya bisa diwujudkan jika semua elemen, termasuk pemuda, bergerak dalam harmoni. Tapi harmoni itu bukan berarti diam, melainkan keberanian untuk berbicara dan bertindak dalam semangat persatuan.
“Persatuan sejati tidak meniadakan kritik,” ujarnya.
Kritik, menurutnya, adalah bentuk cinta yang paling jujur kepada daerah ini.
“Kalau kita diam melihat ketidakadilan, berarti kita ikut merusak rumah kita sendiri.”ungkapnya.
Ia mengajak seluruh pemuda Tanimbar untuk tidak lagi menunggu perubahan dari luar.
“Kitalah perubahan itu. Jangan biarkan diri tercekik oleh kepentingan, atau terlentang karena takut. Jadilah terlenting, karena dari lentingan itulah kebangkitan Tanimbar dimulai,” ujarnya penuh semangat.
Ia menutup pembicaraan dengan mengutip pesan Bung Hatta: ‘Kita masih terus berjuang menjadi tuan di negeri sendiri.’ Pesan itu, katanya, relevan bagi pemuda Tanimbar hari ini yang sedang mencari jati diri di tengah arus kekuasaan.
Dengan wajah yang tenang namun penuh keyakinan, Anders menatap laut Saumlaki yang biru berkilau di bawah matahari sore.
“Tanimbar ini tanah kita. Jangan biarkan siapapun menulis sejarah tanpa kita di dalamnya,” katanya.
Hari Sumpah Pemuda ke-97 bukan sekadar seremoni, tetapi pengingat abadi bahwa masa depan bangsa ini, termasuk Tanimbar, berada di tangan pemuda. Maka pertanyaannya kini bukan lagi siapa pemuda Tanimbar itu, tetapi sejauh mana mereka berani menjadi terlenting untuk mengguncang dunia. (KN-07)
Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-97. Salam Pemuda, Salam Tanimbar Maju!








