Oleh: Tammat R. Talaohu (Wakil Ketua Umum Koordinator Perekonomian Kadin Maluku)
Ambon, Kapatanews.com – Forum Economic Leadership for Regional Government Leaders (REL) Angkatan IX Tahun 2025 yang digelar, Senin (15/9/2025) pekan lalu di Jakarta, dimana salah satu pesertanya adalah Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, menjadi salah satu momentum vital untuk kembali menggugah pemerintah pusat terkait pendekatannya terhadap Maluku yang tidak proporsional sehingga negeri seribu pulau ini tetap berkubang dalam ketertinggalan.
Orasi Gubernur Maluku dalam forum tersebut yang tidak segan menyampaikan bahwa pemerintah pusat dengan tidak tepat memperlakukan Maluku sehingga ketertinggalannya telah berlangsung lama menjadi pesan tegas bahwa model perencanaan dan eksekusi kebijakan pembangunan terhadap daerah berciri
kepulauan seperti Maluku harus diubah.
Artikel pendek ini (sebagian materinya telah dipublikasikan) hendak menguatkan hipotesis selama ini bahwa ketertinggalan Maluku sebagiannya karena peran pemerintah pusat.
Berikut ini adalah kajiannya. Pertama, ketertinggalan Maluku sebagian besarnya boleh dikatakan sebagai efek dari
diadopsinya beberapa regulasi yang justru melemahkan kapasitas pemerintah daerah. Dalam hal ini kita dapat menyebut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam undang-undang tersebut, untuk sektor perikanan misalnya, alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) untuk pemerintah pusat sebesar 20 persen dan 80 persen sisanya dibagi sama rata dengan kabupaten/kota seluruh Indonesia. Akibatnya daerah yang tidak memilik garis pantai sama sekali, misalnya Kabupaten
Bogor, mendapatkan DBH perikanan yang sama dengan Kabupaten Kepulauan Aru yang melimpah sumber daya perikanan laut.
Kondisi seperti ini telah berlangsung puluhan tahun. Bandingkan dengan Aceh dan Papua, dimana untuk DBH minyak bumi dan gas alam, kedua
daerah itu mendapatkan alokasi DBH hingga 70 persen. Maluku memiliki 3 WPP (Wilayah Pengolaan Perikanan) yang terdiri Laut Arafuru, Laut Banda dan Laut Seram.
Potensi perikanannya mencapai 4,6 juta ton dari 12,5 juta ton potensi perikanan nasional. Itu berarti setara dengan 37,2 persen potensi perikanan nasional. Potensi sebesar ini lebih merupakan kutukan daripada berkah bagi perekonomian daerah.
Kedua, tentang formula perhitungan Dana Alokasi Umum/Dana Alokasi Khusus (DAU/DAK). Undang-Undang Nomor 1/2022 lahir sebagai konsekwensi dari otonomi daerah, sehingga pembiayaan otonomi daerah ini butuh dana transfer dari APBN ke daerah.
Denganskema Dana Perimbangan, maka daerah dapat mengongkosi pembangunan daerah. Dana perimbangan terdiri dari DBH, DAU dan DAK. Dimana formula perhitungan DAU dapat dijelaskan sebagai berikut. DAU = AD + Celah Fiskal (CF). Dimana AD adalah Alokasi Dasar yang merupakan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (ASND).
Sedangkan CF didapat dari Kebutuhan Fiskal (KbF)-Kapasitas Fiskal (KpF). Dua komponen yang dipakai untuk menentukan besar kecilnya Kebutuhan Fiskal dalam perhitungan DAU adalah kependudukan dan kewilayahan. Disinilah letak ketimpangan dimana daerah dengan karakteristik kepulauan seperti
Maluku menjadi sangat dirugikan karena kedua komponen perhitungan besar kecilnya Kebutuhan Fiskal (kependudukan dan kewilayahan) tidak realistis mengingat penduduk Maluku tidak sebanyak daerah-daerah di Indonesia bagian barat, begitupun dengan wilayahnya yang lebih dari 92 persennya terdiri dari laut.
Pendekatan perhitungan DAU sangatlah kontinental. Luas wilayah laut yang seharusnya menjadi keunggulan komparatif daerah telah dimanipulasi
menjadi kutukan lainnya bagi Maluku. Sikap Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, yang beberapa kali dalam berbagai forum nasional, menyuarakan ketimpangan pendekatan fiskal selama ini adalah tepat.
Ini sekaligus merupakan gugatan terhadap model perencanaan pembangunan pemerintah pusat yang cenderung menyamaratakan kebijakan fiskal terhadapsemua daerah di Indonesia tanpa mempertimbangkan perbedaaan geografis, konektivitas dan fragmentasi wilayah administrasi yang tersebar.
Ketiga, terkait konsep otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang inipun terdapat sejumlah klausul yang ikut melemahkan kemandirian provinsi berciri kepulauan.
Selain kewenangan yang diberikan kepada daerah berciri kepulauan yang terlalu sederhana (hanya diatur dalam satu bab dan empat pasal) tapi sekaligus merugikan sebab kewenangan daerah provinsi berciri kepulauan untuk mengelola sumber daya alam di laut paling jauh hanya 12 mil. Itupun di luar minyak dan gas bumi.
Dengan kondisi ini, jelaslah bahwa daerah seperti Maluku makin tidak berdaya. Bahkan ketika salah satu ladang gas terbesar di dunia ditemukan di perairan Maluku (Blok Masela), toh Maluku hanya kebagian remah-remah pengelolaan dalam skema Partisipasi Interest (PI) sebesar 10 persen.
Jadi, laut Maluku yang kaya akan sumber daya perikanan dan mineral justru menjadi sebab ketertinggalan itu sendiri melalui pembatasan struktural oleh pemerintah pusat. Inilah kutukan berikutnya terhadap kekayaan melimpah yang dikandung laut Maluku.
Keempat, Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan (BKSPK) menegaskan beberapa karakteristik provinsi kepulauan yang terdiri dari delapan poin (Petrus Polyando, 2020). Tiga poin diantaranya menunjukkan bahwa pembiayaan pembangunan di daerah ini akan mahal, antara lain:
1. Umumnya daerah ini dicirikan dengan luas wilayah laut yang lebih besar dari daratan.
2. Dari segi persebaran demografis, penduduk wilayah kepulauan biasanyapenyebarannya tidak merata.
3.Dari segi sosial ekonomi, aktivitas ekonomi, jenis dan derajad dinamika ekonomi umumnya terbatas dan berskala kecil, serta belum didukung oleh jaringan
distribusi dan pemasaran secara memadai. Mahalnya pembiayaan pembangunan daerah provinsi berciri kepulauan ini telah menjadikan derajad kemandirian fiskal Maluku menjadi rendah.
Ini ditandai oleh rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta ketergantungan yang tinggi terhadap dana transfer dari APBN. Akibatnya, sedikit saja terjadi tekanan terhadap APBN maka bangunan ekonomi daerah secara otomatis ikut terguncang. Itulah yang terjadi di Maluku ketika pandemi Covid-19 mewabah dan pemerintah pusat menerapkan kebijakan refocusing anggaran pada tahun 2020 serta saat ini dimana pemerintah sedang mengadopsi kebijakan pengetatan anggaran.
Dampaknya bagi perekonomian Maluku langsung terasa dimana pertumbuhan ekonomi terjerembab menjadi -2,19 persen (2020, semasa pandemi covid-19), pendapatan APBD yang secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir telah berada di atas Rp. 3 triliun menurun menjadi Rp, 2,8 triliun (2022), begitu juga dengan kemiskinan dan pengangguran terbuka yang telah dengan susah payah ditekan bertahun-tahun kini kembali terkoreksi.
Jadi sebaran geografis dan gugusan kepulauan indah di Maluku telah menjadi beban anggaran pembangunan sekaligus kutukan konektivitas.
Kelima, apa yang disuarakan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, adalah keresahan kolektif anak negeri Maluku. Karena itu, tantangan pembangunan daerah harus disikapi dengan pembentukan formasi sumber daya manusia pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) yang cakap, berintegritas, intelek dan punya etos kerja yang tinggi.
Dalam hal ini, birokrasi pemerintah daerah hendaknya memiliki kinerja yang searah dengan sikap dan arah kebijakan pimpinan tertinggi daerah dengan memanfaatkan potensi besar sektor kelautan dan perikanan daerah.
Demikian halnya dengan para politisi daerah yang kita harapkan tidak apatis dan lembek terhadap kebijakan pemerintah pusat. Bagaimanapun, ketertinggalan Maluku tidak bisa dilepaskan dari kontribusi para politisi (nasional dan daerah) sebab mereka adalah bagian integral dari mekanisme perencanaan pembangunan.
Itulah beberapa pokok pikiran terkait provinsi kepulauan yang lebih merupakan kutukan ketimbang berkah jika tidak didorong untuk dimodifikasi. Bagaimanapun, konsistensi Gubernur Maluku – Hendrik Lewerissa, dalam mengampanyekan provinsi kepulauan harus diapresiasi dan dikuatkan secara kolektif. Ini adalah pintu utama menuju kemajuan Maluku. Bukankah demikian? ( Redaksi)